Jatuh cinta itu, mudah. Hanya tinggal melihat seseorang, mengamatinya, memerhatikan gerak geriknya, memikirkannya, lalu mulai merindukannya, dan jatuh cintalah padanya. Itulah caraku mencintai siapapun. Teman, kawan, lawan, dan semuanya. Kalau keluarga, sudah pasti aku cintai – insyaAllah.
Dan ini kisahku, ketika mencintai seseorang sejak tujuh tahun lalu, dan sekarang Tuhan telah memintanya untuk kembali ke rumah. Dan aku, tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Mencoba mengikhlaskan dan meyakinkan hati, bahwa pasti akan ada yang lebih baik dari dirinya.
Segalanya terasa lebih sulit tanpa dirinya di dunia ini, sekalipun aku sudah biasa berjauhan dengannya, namun untuk kali ini berbeda..ia jauh ada di alam sana, dan aku disini. Dimensi kami sudah berlainan. Kalaupun aku mengirimkannya pesan lewat ponsel, ia tak akan membalas. Kalau pun aku meng-add nya di Facebook, ia tidak akan meng-confirm. Kalaupun aku mem-follow-nya di twitter, ia tidak akan follow back, dan kalaupun aku datang ke rumahnya, ia sudah tidak akan membukakan pintu.
Yuda, namanya. Seseorang yang pernah membuatku begitu bahagia berada di sisinya. Seseorang yang juga pernah membuatku begitu merasa bersalah karena telah menyiakan dirinya. Aku mulai mengenalnya sejak usia tiga belas tahun. masih sangat belia, dan labil. Sekiranya pada saat itu, aku sudah berusia dua puluh tahun dan ia berarti 22 tahun, mungkin jalur pemikiranku akan menjadi lebih dewasa dan bijak. Tidak labil. Tapi, Tuhan mempertemukan kami pada saat itu. Dan aku berdosa karena telah menyakiti hatinya yang tulus menyayangiku.
“Mau jadi pacarku?” tanyanya padaku. Malam dimana ia singgah ke rumah bersama teman satu gengnya.
“Apa?”
“Vina, mau jadi pacar Aa?”
Aku tersenyum. Kuanggukan kepala malu-malu. Ia bersorak. Mengumumkan pada teman-temannya “Aku dan Vina jadian!” yah, jadian atau proses pacaran dimulai.
Aku pikir, hubungan itu tidak akan mengarah ke arah yang serius. Tapi ketika kelas tiga SMP dan Yuda kelas satu SMA, arah pemikiran berubah. rencana serius pun terpikirkan bahwa “aku ingin menikahimu suatu saat nanti, Vina” dan begitu pun aku. Apapun yang terjadi nanti, aku yakin bahwa Yuda diciptakan Nya untukku. Bukan untuk gadis lain di muka bumi ini. Karena memang hanya aku lah yang pas untuknya.
Tapi ternyata, tidak. Tiba-tiba, hubungan kami berakhir seiring dengan kepergianku ke Bandung. Rangkasbitung dan Bandung, adalah dua kota yang tidak begitu jauh sebenarnya, namun tiket bis yang mahal membuat kami jarang bertemu. Ponselku yang tiba-tiba hilang pun menjadi salah satu penyebab ia memilih wanita lain yang berada di dekatnya. Aku, kecewa. Emosi anak enam belas tahun belum begitu tertata rapi. Hingga akhirnya aku terpuruk dalam nuansa putus cinta. Seolah membutuhkan seseorang untuk memberi kehangatan batin selain keluarga. Padahal, seharusnya aku berdoa dan mendekati Nya. Bukan malah mencari pengganti Yuda.
***
Tiga bulan setelah tahu Yuda memiliki hubungan dengan gadis lain, aku pun memutuskan untuk melupakan dirinya. “Masa depanku panjang, untuk apa masih sakit hati dengan semua ini” tekadku dalam hati. Kututup hati rapat-rapat. Hingga tak akan ada lagi pria yang masuk. “aku ingin fokus sekolah” tekadku.
Semuanya berjalan dengan lancar. Sekolah dan segenap prestasi kuukirkan. Sebenarnya, seluruh hal itu aku lakukan untuk membuat Yuda yakin, bahwa aku yang pas untuknya. “Sudah cantik, pintar lagi” komentar itu yang aku ingin dengar dari orang tuanya hingga mereka memilihku untuk menjadi istri Yuda. Tapi, itu egois. Aku hanya memikirkan perasaanku. Mengabaikan perasaan Yuda dan pacarnya saat itu.
Prestasi itu membuat orang tuaku bangga. Namun, itu tidak bertahan lama. Aku mulai merasa, ada yang hilang dalam jiwaku. Ada kekosongan pikiran yang harus diisi oleh hal lain selain pelajaran IPA, IPS, Matematika, dan lain-lain. Ada sesuatu yang harus menjadi motivasi selain “membuat aku pas untuk Yuda”. Harus ada sesuatu yang benar-benar menjadi dorongan bagiku. “Ya, I need someone” seseorang yang akan aku telepon jika butuh teman, yang akan menjemputku untuk les dan sekolah, dan yang akan setia menemaniku, membuatku melupakan Yuda.
Lalu, aku menemukannya. Sosok pria dewasa, yang bisa menjadi imam bagi segala langkahku. Yang melindungi segala gerak-gerikku. Padahal, seharusnya aku yakin dan percaya pada saat itu, bahwa hanya Tuhan yang Maha Melindungi hingga aku tidak akan merasa kecewa.
“Status pacaran itu gak penting Na, yang penting.. Na tau kalo Adil sayang Na dan Na pun demikian” aku tidak pernah tahu, bahwa sebenarnya ungkapan itu memiliki makna “Ini loh, kita lagi ngejalanin hubungan yang serius”. Aku hanya berpikir “Oh.. buat orang dewasa berusia dua puluh tahun, pacaran itu gak penting ya” dan aku pun hanya bisa menurut.
Malam dimana Adil mengatakan hal demikian, membuatku yakin bahwa He’ll be the one who will be a partner of my life. Dan dengan begitu, aku tenang. Sudah ada seseorang yang berada di sampingku, membimbingku, menyayangiku, dan akan menjadi suamiku. Aku tidak perlu mengharapkan Yuda lagi. Dan pintu hatiku pun ditutup rapat-rapat. Dimana Adil lah pemegang kunci utamanya. Padahal, seharusnya aku tidak melakukannya, karena aku masih terlalu muda untuk menentukan sebuah pilihan yang pada ujungnya malah membuat hatiku terluka.
Tanpa kabar, pesan, voice mail, email, wall di facebook, Adil pergi setelah menjalin kedekatan yang begitu intim selama enam bulan. Hubungan kami pun berakhir. Padahal aku sudah begitu yakin bahwa ia akan jadi suamiku. “Seharusnya dari awal aku gak kenal dia” tangisku dalam hati. “Seharusnya dari awal, aku tahu ini akan terjadi” gerutuku lagi “Dan seharusnya, aku sadar, bahwa Tuhan lah satu-satunya tempat aku berharap”.
***
Bertahun-tahun terpuruk dalam jurang ke-putus-asa-an, aku bangkit lagi setelah ketika kuliah di Jakarta bertemu dengan seorang pria bernama Yudis. Menjalin hubungan dengannya, tak se’uprit’pun terpikirkan olehku. “Secara, dia anak orang kaya, Kak” kataku pada Kak Tata – teman Yudis, yang menjembatani hubunganku dengan Yudis. “Gak ada istilah kasta kalau udah cinta” katanya.
Benar. Tidak ada kasta dalam cinta. Yudis pun bilang demikian.
Akhirnya, hubungan antara aku dan Yudis tercipta. Dimulai ketika malam tanggal 13 November 2010 lalu. Meskipun sebenarnya aku tidak merasa memiliki pacar karena kami layaknya teman dekat, tapi aku sudah seharusnya sadar, bahwa kini di sampingku ada seseorang yang menyediakan waktunya untukku. Jadi, akupun harus menyediakan waktuku untuknya. Ketika aku memiliki pacar, teman, kawan, suami atau partner apapun, sesungguhnya aku sudah harus berkomitmen pada diriku bahwa aku harus membagi waktu, pikiran dan tenagaku untuk mereka. Apalagi Yudis, pacarku. Dan aku melakukannya. Meskipun tidak seluruh waktu, pikiran dan tenagaku ku bagi semuanya, namun aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membaginya. Dan ia tetap merasa terabaikan olehku.
“Awas ya Yang, jangan selingkuh!” ancamnya.
“Kita liat aja nanti” balasku.
Aku memegang erat janji hatiku. bahwa untuk kali ini, aku tidak akan membuat kesalahan lagi. Hubungan ini harus berakhir di pelaminan. Namun, waktu menjadi bukti kekejaman yang dilakukan Yudis. Ia selingkuh. Setelah hubungan kami berjalan satu setengah bulan.
Begitu melihat bukti di Facebook, tumblr, dan mendengar pernyataan darinya, aku menarik nafas, mencoba menenangkan otak dan pikiran. Menyingkronkan hati dan pikiran agar mengambil jalan yang bijak, yakni mengakhiri hubugan kami. “Jadi, tanggal 31 Desember 2010 ini, kita putus ya, Dis” kataku dengan nada tenang. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. membiarkan aku menanggung luka ini sendirian tanpa mencoba meringankannya. “Yaudah, semoga lekas sembuh ya Dis” kututup telepon. Dan menarik nafas berkali-kali. Menenangkan jiwa dan melancarkan pernapasan agar asma tidak kambuh.
“I am better now” kataku pada Selly, teman sekamar yang ada di hadapanku.
“Good, you are” ia tersenyum meyakinkanku bahwa aku tidak sendirian. Ada dirinya. Dan putus dari Yudis adalah hal terbaik yang kulakukan.
***
Rasanya ada yang salah denganku. bahwa ketika aku mulai menjalin hubungan serius, pasti selalu berakhir menyakitkan. Yuda, yang kini berada di surga Tuhan. Innalillahi wa innailaihi rooji’uun, seharusnya aku yakin, yang berasal dari Nya pasti akan kembali pada Nya. Dengan begitu, aku tidak akan menyalahkan ketidakmampuanku mempertahankannya. Adil, aku begitu menyayanginya. Ia sosok yang sangat aku idamkan, bisa menjadi imam dalam keluargaku kelak. Tapi, ia pergi tanpa pesan. Dan setelah itu, aku baru tahu bahwa kepergiannya karena kekeselan atas tingkahku yang masih kekanak-kanakkan. Seharusnya, aku sadar bahwa usiaku saat itu hanya enam belas tahun sedang dia dua puluh tahun. wajar jika aku masih berpikiran kekanak-kanakkan. Bukan malah dipaksa menjadi sedewasa dirinya. Dengan begitu, aku akan berhenti menyesal atas sikapku. Dan Yudis, aaah.. itu bukan salahku, dia nya saja yang tidak bisa memegang omongannya sendiri. Dengan begitu, aku akan berhenti berpikiran “Mungkin aku tidak memberikan Yudis kebahagiaan”.
Kegagalan-kegagalan dalam hidup itu, menyakitkan jika aku menyikapinya sebagai siksaan. Namun ternyata, ia adalah keberhasilan yang sebenarnya, karena dengan begitu, aku bisa banyak belajar untuk lebih bijak, dewasa, dan berhati-hati untuk jatuh cinta. Menggunakan logika sebelum jatuh cinta.
Ya Allah, kegagalan-kegagalnku, adalah berkah dari Mu. Pertanda bahwa Kau begitu menyayangiku.
No comments:
Post a Comment