aku pikir, tubuhku ini cukup kuat.. setelah selesai menjadi panitia FIM 11 di Maleber dan wiladatika, pada 28 Oktober, badanku terus menerus diserang penyakit. Dari flu sederhana, hingga sakit kepala yang bahkan untuk membuka mata pun tidak kuat. Rentetan penyakit itu, tidak aku rasakan.. jelas, aku memutuskan untuk terus berjalan, mengokohkan kaki, menegakkan dagu, dan berjalan dari asrama dan kampus. Kuliah, dan menjalani rutinitas organisasi pun masih kulakukan.
Minggu pertama setelah FIM 11 itu, aku malah jalan ke Kelapa Gading, dari siang bersama seorang kawan berbadan tinggi besar, kacamata, dan. .hm.. rasanya tak perlu disebutkan ia berasal darimana. "Naik apa pulangnya, Vin?"tanyanya.. Ia tidak mungkin mengantarkanku ke rumah, secara rumahnya dekat dengan Kelapa Gading. Dan, aku pun pulang sendiri. Dalam taksi, kututupkan mata, berharap segera datang ke rumah, karena kepala sungguh tidak dapat dikompromi lagi. Penglihatan memburam, padahal kacamata minus 3 sudah dikenakan. Pendengaran jadi tak fokus lagi akibat mata yang juga tak fokus. Dan suara pun kian mengecil, seakan semalaman bernyanyi di sebuah konser. Dan aku.. tertidur. Malam Minggu, aku malah jalan lagi.. terus.. dan terus.. dan..
Hingga aku sadar, tubuhku ini bukan robot. .harus istirahat. Kuliah dari jam 7 - 12 siang daaaan tidur.. istirahat! But, I didnt do it. Aku terus berusaha memadatkan jadwal. Hingga, week end selanjutnya.
Di minggu ketiga setelah FIM 11, badanku mulai panas, dan aku sadar, panasnya naik turun. pagi aku bahagia, menjelang jam 1 siang menggoreng telur di badan pun bisa jadi matang, sore aku membaik, menjelang malam, badanku panas kembali.. dan terus menerus seperti itu. Akhirnya Bandung menjadi tempat yang diperkirakan membuatku untuk sembuh.
Jumat siang sampai. Aroma dan aura Bandung yang berbeda jauh dari jakarta, terasa. Sejuk sejuk angin semilir karena habis hujan pun begitu menyegarkan mata yang minta tidur dari beberapa jam yang lalu. Ke kantor tempat pKL dulu dan minta stampel, adalah hal pertama yang harus dilakukan begitu sampai bandung.. Dan.. setelah itu, beristirahat di rumah.
Sabtu siang hingga petang, kami pergi ke..hm.. Blitz, dan menonton.. aku tidak mengeluh dengan badan panas, serta sakit kepala yang dirasa kala itu. Aku terus saja tertawa, tersenyum, seolah tidak ada rasa sakit yang dirasa. Bersama keluarga, memang hal yang menyenangkan.
Di Minggu pagi, pukul 11, dia menjemputku. Jaket hijau lumut, sepatu coklat tua buluk, kaos hitam polos, jeans biru donker, dan TANPA tas, setelan khasnya. Motor bebek berplat dari yogya itu, mengantarkan kami ke Museum geologi, berbelanja di Cargo, ke Panti asuhan, Masjik Balkot, BIP, dan makan-makan.
Ada cerita unik ketika mengunjungi panti asuhan itu, seorang anak bernama ikhsan yang sungguh aku sukai tengah digendong oleh ibu pengunjung panti. Pakaian bayi usia 6 bulan itu masih sama seperti satu minggu lalu ketika aku bersama orang tuaku kesana.
"Ibu, aku suka bayi ini" kataku pada ibu pengunjung sambil minta untuk menggendong ihsan.
"Oh.." dia palingkan wajahnya pada si "dia" dan.. "mau diadopsi neng?" aku melirik ke arahnya dan.. "engga, Bu"
aku lihat sudut lain dari mungilnya kamar 6 bayi di panti itu. Seorang bocah berkepala agak besar tengah memegang pintu dan mencoba berjalan perlahan. Kuhampiri ia, "siapa ini namanya, Bu? "Deden.." "iiih gemeees.. cini cini deden.." sambil berusaha menggendongnya meski ia tidak mau digendong sama sekali "Neng belum punya anak aja ?" "apa?" aku terkejut pertanyaan itu keluar dari mulut Ibu sang penjaga bayi. "aaku..." "ooh.. masih kuliah ya.." ia bu, aku masih kuliah dan dia bukan suamiku.. hatiku berbicara. Sengaja tak kulontarkan pada Ibu itu, aku biarkan saja ia berpikir secara luas dan liar. :P
Aku menjauh perlahan, kudekati ihsan lagi.. dan.. "Sini sayang." aku gendong tubuh mungilnya, meninabobokan dirinya yang tak jua terlihat ingin tidur.. dan.. "sayang.. aku sayang.. kamu" kataku mesra.. Ia mendekatiku, dengan tubuh tinggi tegapnya, ia terus mendekatiku, berada hanya sekitra 30 cm dari tubuhku.. "Boleh?" ditanyanya padaku sambil memasang tangan siap untuk menggendong ihsan. "Boleh.." Ihsan sekarang, ada di pelukannya... menyandarkan kepala perlahan di dadanya, dan sedikit demi sedikit menutup mata.. "Iiih.. ihsannya mau tidur" "Ini..ini" katanya padaku lagi sambil memberikan Ihsan. "kenapa?" "gak apa-apa" ia pergi, keluar ruangan.. dan menungguku di pintu depan. "ini Bu" kukembalikan ihsan pada ibu pengunjung tadi, dan menghampiri dirinya.
"Udah?" "Udah..bentar.. anak-anak lagi pada mandi" kuperhatikan tubuh mungil tubuh mungil itu disiram air perlahan, disabuni, dan tertawa.. mereka sungguh terlihat bahagia.. dan aku iri.
"yu..."
Masjid balkot menjadi pilihan kami untuk menunaikan solat zuhur dan ashar.. Dan kalian tahu apa yang sedang berlangsung disana? sebuah akad nikah yang terlambat. Aku pikir, apa itu pertanda dari Allah atas semua pertanyaanku. Dari kata Ibu di Panti, lalu akad di masjid itu.. apakah itu pertanda? Atau hanya pemikiranku saja bahwa itu pertanda.. Wallahualam.
Sore itu, pertemuan aku dan dia akan berakhir. Tidak akan ada lagi weekend bersama seperti beberapa Minggu lalu yang sudah menjadi rutinitas kami. "Aku mau pulang" setelah waktu menunjukkan pukul 5 sore. "yakin? Gak mau nonton imortal dulu di BSM" "Jam 8 kretaku berangkat" "baiklah...Sebentar ke palasari dulu ya.."
Dan jam 6 sampai di rumah..
Pertemuan itu, benar-benar jadi pertemuan terakhir kami.
Bahkan ketika aku tergeletak sakit pun, ia tidak datan menjenguk.. Ia memilih untuk lebih menontno konser Anggun ketimbang menengokku. Di hari ulang tahunnya kala itu. Dua minggu tubuh in meminta istirahat total. Dan bandung adalah pilihan orang tuaku untuk memboyong ku demi kesembuhan yang sempurna. Dan selama dua minggu itu pula, ia tidak dtang menjenguk.
Hingga aku sadar, bahwa sebenarnya semua pertanda yang aku pikir pertanda itu bukanlah prtanda.
Mengapa hal ini harus ditulis? agar aku lebih ingat bahwa tidak semua hal yang aku pikir pertanda adalah pertanda sebenarnya. Dan rasanya aku sudah tahu jawaban yang diberikan Nya.
No comments:
Post a Comment