Monday, April 28, 2014

TANDA TANYA SUPERWOMAN

Saya termenung berkali-kali sambil selalu bertanya dalam hati tentang apakah setelah memiliki teman hidup nanti, saya siap dengan kewajiban yang bertambah? Setiap hari berjalan sendiri dan berhasil meluangkan banyak waktu untuk otak dan hati saling berkomunikasi memaparkan apa yang ada di dalam logika dan rasa. Antara TIDAK SIAP dikatakan logika, dan SIAP SEKALI yang diutarakan rasa. Keduanya masih berkonflik berat.
Di zaman ini, lumrah bagi wanita pergi pagi dan pulang sore. Bekerja, berkarir, dan berkarya. Tapi apakah siap jika peran sebagai anak, kakak, dan adik, bertambah dengan peran sebagai istri?

But life is all about choices. Banyak alasan wanita memilih jalan itu, memenuhi kebutuhan keluarga, mengaktualisasi diri, menjadikan tujuan hidup, networking, tidak ingin selalu meminta uang pada suami, dan lain sebagainya. Wanita kini berproses, berani mengambil keputusan, dan menunjukkan dirinya. It’s time to women to speak up louder and louder.

Everybody knows abou’ the April 21st, I guess. Emansipasi yang disuarain Kartini, jadi topik paling HOT untuk disuarakan. Tapi saya sendiri sering bertanya, what’s the meaning of emansipasi? Mengapa bisa hingga sedemikian adanya orang-orang menyuarakan emansipasi wanita? Setahu saya, emansipasi itu adalah kata yang dipakai untuk menjelaskan usaha yang dilakukan untuk mendapatkan persamaan derajat antara pria dan wanita. Persamaan derajat disini, menuntut kesetaraan gender? Siapkah saya jika kesetaraan gender itu benar-benar terjadi?

Waktu itu (setahu saya) RA Kartini berjuang keras agar wanita mendapatkan hak nya yang sama dengan pria, untuk diberikan hak sekolah. Karena dulu wanita tidak bisa bersekolah, cukup di rumah, dan jadi istri yang baik bagi suami, serta jadi ibu yang pandai mengurus anak. Sekarang? Kesetaraan macam apa lagi yang diinginkan sebenarnya? 

Bagi saya, dan itu cukup, wanita sudah diberikan keamanan dengan tempat duduk khusus di TransJakarta, gerbong kereta khusus wanita, dan, bahkan pria yang duduk pun harus bangun jika ada wanita hamil, yang berdiri di bis, atau kereta. Belum lagi, masih banyak juga pria baik yang memberikan kursinya untuk wanita yang tidak hamil, masih muda. Jadi, kesetaraan macam apa lagi yang diinginkan? Dari segi agama,  wanita itu ditanggungjawapi oleh tiga pria, yakni: bapaknya, suaminya, dan kakak laki-lakinya (adik laki-laki ya gak sih?). Jadi, kesetaraan macam apa lagi yang diinginkan?


Bagaimana dengan "Wanita sering dijadikan sasaran kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan lain-lain" apakah itu akibat dari tidak setaranya wanita dan pria? aargh.. saya masih sangat bingung.
 
Setelah menikah nanti, ternyata kewajiban utama saya pun menjadi sama dengan kewajiban suami, mencari nafkah. Dengan kewajiban saya yang lain, mengurus dan melayani suami, mendidik anak, menjaga anak, menyusui anak, hamil, menjaga kehamilan, akankah terhapus begitu saja? Jika ya, mungkin itu disebut adil. Mungkin juga tidak. Jika tidak, mengapa harus menuntut hak yang lebih ketika kewajiban tidak sebanding dengan hak? Tapi ketika menuntut hak, hak mana yang sedang dituntut sebenarnya? 

Pemikiran itu kerap kali mengisi relung kosong otak saya. Dan berujung, BINGUNG.


Jadi sebenarnya, apa itu emansipasi wanita yang sering kali disuarakan? Saya masih bingung. Karena bagi saya, wanita yang mengambil pilihan untuk bekerja, dan berumahtangga, adalah superwoman, kalo superwoman ya.. gak perlu menuntut emansipasi. Ketika berbeda, tanggungjawab berbeda, maka wanita ada titik perjuangan yang lebih tinggi dari pria, dan itu artinya layak dibilang superwoman. Dan “label” superwoman itu saat ini cukup untuk saya. Atau, emansipasi, kesetaraan gender, dan superwoman adalah tiga hal yang berbeda?

No comments: