Pernah dengar berita di tipi-tipi rumah yang dirampok ketika akan menjelang lebaran? Atau pernah mengalaminya?
Ya, it was me. Aku dan ke 23 teman asramaku lainnya, kini mengalami hal itu. Rumah kami di daerah mana? Adalah.. di sebuh sudut Jakarta Selatan. Hm.. gimana ceritanya? Ini bukan yang terbaru, tapi cukup menakutkan kawan.
Bagaimana ketika kami selalu terbangun dengan gedoran pintu dari teman yang lain untuk memberitahukan bahwa, "rumah dimasukkin orang" dan langsung seluruh tubuh bergetar, jantung kian cepat berdebar, dan rasanya ingin pingsan , menutup mata saja, biar ketika bangun aku sadar bahwa "oooh.. tadi mimpi." Tapi ya, kehilangan laptop (meski kembali lagi), dua handphone, dan kehilangan lainnya yang dialami teman-teman, rasanya sudah menorehkan luka berat. Mungkin sudah infeksi. Jadi ya, sulit diobati. Kami gak belajar dari pengalaman? Tentulah belajar.!! Terus, kenapa gak pindah aja? Kemalingan sampai lima kali lebih baik dari eksternal atau pun internal, bukan hal yang wajar bukan? Ia, seharusnya pindah sejak dua tahun lalu, tapi kami selalu optimis dari setiap kejadian yang tealh terjadi bahwa itu akan menjadi kejadian yang terakhir kalinya. Dan.. kami dan pihak pendukung pun melakukan berbagai upaya, dari mulai mengunci semua jendela dengan teralis, memberi gembok di setiap pintu keluar, mengganti kunci, dan memberi kawat pada pagar rumah. Semua itu dilakukan, dengan tanpa memikirkan "kami harus keluar lewat mana jika (amit-amit) terjadi kebakaran?".
Tapi ternyata, dua laptop, lima handphone, dua tas ransel, dompet, dan benda lainnya yang dicuri pada suatu malam dari kamar empat itu, bukanlah peristiwa terakhir.
Ternyata, malam itu, dua malam yg lalu, Hana melihat jejak kaki hitam di tembok dekat pintu kamarku, dan.. mengarah ke ternit atas yang memang bolong, bekas para teknisi kampus memperbaiki genteng kamarku yang tergeser akibat hujan angin beberapa bulan yang lalu. Hana panik. Jelas. Tapi aku dan Selly mencoba tenang, mengabari satu per satu penghuni asrama agar lebih waspada lagi. Dan ternyata, ketika kami semua risuh memutuskan untuk mengunci pintu utama, segerondol kunci yang dipegang Kharisma itu tidak terdapat kunci pintu utama. GREAT. And where was the key? Kunci pintu utama, terlepas dari gandulannya, berpisah dengan teman-temannya yang lain, tergeletak lepas di samping pintu utama. Tanpa ada yang tahu siapa pelakunya. Salah satu teman kalian kali? Aaaah.. ayolah, kita semua tahu, kami itu pemalas semua, membuang sampah pada tempatnya pun kadang tidak dilakukan, apalagi harus mencoba satu per satu kunci pintu utama, dan melepasnya? Rasanya itu sangat tidak mungkin.
JENGJENG!! Dan, Kak Fajar dan Kak Adi pun menginap.
BEBAS di satu malam. Alhamdulillah tak terjadi apa-apa.
Subuh tadi, tragedi pengetukan kamar secara gedor gedor terjadi lagi. Kali ini, aku dan Selly yang hanya sisa berdua di kamar, terkejut dengan teriakan "Seeeelll.. bangun selll" yang terpikir olehku ketika membuka pintu adalah "Ada apa dengan lemari selly yang selalu terbuka?" Tapi ternyata, bukan lemarinya yang kenapa, tapi, lubang angin diatas pintu balkon belakang yang sudah dicoba untk dibuka. .oleh si pelaku, "setan tanpa belas kasih". Teralis sudah tergeletak di tembok tempat kami biasa simpan sabun dan alat mandi. Subuh itu, semuanya sudah tersimpan rapi di lantai. Si "Maling" takut kami mendengar keributan jika ia tidak menaruh seluruh peralatan mandi itu di lantai terlebih dahulu.
Jejak tangan berwarna hitam debu pun ada lagi.
Pukul tujuh pagi, ditemani Kak Fajar dan Kak Abidin - yang kebagian menginap di malam kedua, datanglah satpam. Dan seperti biasa, mengecek segala sudut ruangan TKP. Bahkan ke atap rumah pun mereka coba dan dapat melihat aku dan Selly yang tengah tertidur lagi pagi itu. Itu artinya ketika si maling naik ke atas atap, ia dapat melihat kami sedang tidur. UNTUNGNyA lampu kami matikan selalu.
"Kita harus pindah" itu kalimat yang selalu kami lontarkan beberapa jam setelah peristiwa "Kalo barang ilang, bisa beli. Tapi keselamatan kita?" Itu yang kami pikirkan. Kami sudah cukup tangguh bertahan dalam rumah penuh teror selama dua tahun .Sudah cukup kami mengalah, kini.. lebih baik gantian, kami yg meminta utk pindah. Tapi kenapa harus ada statement "biayanya mahal lagi!" Seberapa mahal dibandingkan keselamatan kami? Nyawa dan keperawanan yang hanya Tuhan titipkan satu ini, seharusnya kami jaga baik-baikkan? Dan kalian pun seharusnya ikut menjaga. Jadi, jangan bicarakan biaya disini. Atau statement "Nanti dipasang teralis lagi aja" mau berapa banyak teralis yang dipasang Pak? Kami tidak mau hidup bak dipenjara, harus kunci ini itu sebelum pergi. Semua lubang diteraliskan? Apa enak? TIDAK. Kami ingin hidup normal. "Pindah saja ke rumah putih" Baiklah, itu yang kami tunggu-tunggu. Tapi, tunggu dulu, rumahnya dimana? Jangan-jangan rumah putih di sebelah rumah kami saat ini? Layakkah dihuni 26 gadis? Dan yang terpenting, AMANKAH? Itu yang harus kami cari tahu. Dan kami pun masih akan terus mencari. Mohon didukung dengan bukti konkrit, bukan ucapan bak angin yang berseliweran terhembus macet kota.
Ya, it was me. Aku dan ke 23 teman asramaku lainnya, kini mengalami hal itu. Rumah kami di daerah mana? Adalah.. di sebuh sudut Jakarta Selatan. Hm.. gimana ceritanya? Ini bukan yang terbaru, tapi cukup menakutkan kawan.
Bagaimana ketika kami selalu terbangun dengan gedoran pintu dari teman yang lain untuk memberitahukan bahwa, "rumah dimasukkin orang" dan langsung seluruh tubuh bergetar, jantung kian cepat berdebar, dan rasanya ingin pingsan , menutup mata saja, biar ketika bangun aku sadar bahwa "oooh.. tadi mimpi." Tapi ya, kehilangan laptop (meski kembali lagi), dua handphone, dan kehilangan lainnya yang dialami teman-teman, rasanya sudah menorehkan luka berat. Mungkin sudah infeksi. Jadi ya, sulit diobati. Kami gak belajar dari pengalaman? Tentulah belajar.!! Terus, kenapa gak pindah aja? Kemalingan sampai lima kali lebih baik dari eksternal atau pun internal, bukan hal yang wajar bukan? Ia, seharusnya pindah sejak dua tahun lalu, tapi kami selalu optimis dari setiap kejadian yang tealh terjadi bahwa itu akan menjadi kejadian yang terakhir kalinya. Dan.. kami dan pihak pendukung pun melakukan berbagai upaya, dari mulai mengunci semua jendela dengan teralis, memberi gembok di setiap pintu keluar, mengganti kunci, dan memberi kawat pada pagar rumah. Semua itu dilakukan, dengan tanpa memikirkan "kami harus keluar lewat mana jika (amit-amit) terjadi kebakaran?".
Tapi ternyata, dua laptop, lima handphone, dua tas ransel, dompet, dan benda lainnya yang dicuri pada suatu malam dari kamar empat itu, bukanlah peristiwa terakhir.
Ternyata, malam itu, dua malam yg lalu, Hana melihat jejak kaki hitam di tembok dekat pintu kamarku, dan.. mengarah ke ternit atas yang memang bolong, bekas para teknisi kampus memperbaiki genteng kamarku yang tergeser akibat hujan angin beberapa bulan yang lalu. Hana panik. Jelas. Tapi aku dan Selly mencoba tenang, mengabari satu per satu penghuni asrama agar lebih waspada lagi. Dan ternyata, ketika kami semua risuh memutuskan untuk mengunci pintu utama, segerondol kunci yang dipegang Kharisma itu tidak terdapat kunci pintu utama. GREAT. And where was the key? Kunci pintu utama, terlepas dari gandulannya, berpisah dengan teman-temannya yang lain, tergeletak lepas di samping pintu utama. Tanpa ada yang tahu siapa pelakunya. Salah satu teman kalian kali? Aaaah.. ayolah, kita semua tahu, kami itu pemalas semua, membuang sampah pada tempatnya pun kadang tidak dilakukan, apalagi harus mencoba satu per satu kunci pintu utama, dan melepasnya? Rasanya itu sangat tidak mungkin.
JENGJENG!! Dan, Kak Fajar dan Kak Adi pun menginap.
BEBAS di satu malam. Alhamdulillah tak terjadi apa-apa.
Subuh tadi, tragedi pengetukan kamar secara gedor gedor terjadi lagi. Kali ini, aku dan Selly yang hanya sisa berdua di kamar, terkejut dengan teriakan "Seeeelll.. bangun selll" yang terpikir olehku ketika membuka pintu adalah "Ada apa dengan lemari selly yang selalu terbuka?" Tapi ternyata, bukan lemarinya yang kenapa, tapi, lubang angin diatas pintu balkon belakang yang sudah dicoba untk dibuka. .oleh si pelaku, "setan tanpa belas kasih". Teralis sudah tergeletak di tembok tempat kami biasa simpan sabun dan alat mandi. Subuh itu, semuanya sudah tersimpan rapi di lantai. Si "Maling" takut kami mendengar keributan jika ia tidak menaruh seluruh peralatan mandi itu di lantai terlebih dahulu.
Jejak tangan berwarna hitam debu pun ada lagi.
Pukul tujuh pagi, ditemani Kak Fajar dan Kak Abidin - yang kebagian menginap di malam kedua, datanglah satpam. Dan seperti biasa, mengecek segala sudut ruangan TKP. Bahkan ke atap rumah pun mereka coba dan dapat melihat aku dan Selly yang tengah tertidur lagi pagi itu. Itu artinya ketika si maling naik ke atas atap, ia dapat melihat kami sedang tidur. UNTUNGNyA lampu kami matikan selalu.
"Kita harus pindah" itu kalimat yang selalu kami lontarkan beberapa jam setelah peristiwa "Kalo barang ilang, bisa beli. Tapi keselamatan kita?" Itu yang kami pikirkan. Kami sudah cukup tangguh bertahan dalam rumah penuh teror selama dua tahun .Sudah cukup kami mengalah, kini.. lebih baik gantian, kami yg meminta utk pindah. Tapi kenapa harus ada statement "biayanya mahal lagi!" Seberapa mahal dibandingkan keselamatan kami? Nyawa dan keperawanan yang hanya Tuhan titipkan satu ini, seharusnya kami jaga baik-baikkan? Dan kalian pun seharusnya ikut menjaga. Jadi, jangan bicarakan biaya disini. Atau statement "Nanti dipasang teralis lagi aja" mau berapa banyak teralis yang dipasang Pak? Kami tidak mau hidup bak dipenjara, harus kunci ini itu sebelum pergi. Semua lubang diteraliskan? Apa enak? TIDAK. Kami ingin hidup normal. "Pindah saja ke rumah putih" Baiklah, itu yang kami tunggu-tunggu. Tapi, tunggu dulu, rumahnya dimana? Jangan-jangan rumah putih di sebelah rumah kami saat ini? Layakkah dihuni 26 gadis? Dan yang terpenting, AMANKAH? Itu yang harus kami cari tahu. Dan kami pun masih akan terus mencari. Mohon didukung dengan bukti konkrit, bukan ucapan bak angin yang berseliweran terhembus macet kota.
No comments:
Post a Comment