Friday, January 25, 2013

A Satu


Pada Agustus 2003,
Putung rokok itu kau jatuhkan tepat di atas keset sebelum aku membukakan pintu di suatu malam dalam salah satu hari dari tiga puluh hari di bulan Agustus itu, begitu cerah. Bintang yang biasanya tak ada, kini menyapa dengan sejuta gemerlap cahaya gembira. Malam mingguku terasa menjadi lebih sempurna, Aa.
Kau masih ingat ketika pertama kali datang ke rumah? Menginjakkan kaki kanan pertamamu di keset depan rumah bertuliskan “Welcome”. Mengetukkan tiga ketukan pintu perlahan.

Seandainya kau tahu A, banyak ritual yang telah kulakukan begitu tahu kau akan datang. Dari setelah solat maghrib, aku baca Al-Quran dulu, dengan tujuan agar tidak gugup. Lalu, membaca doa ini dan itu. Al-Fatihah berkali-kali pun kubisikkan di hati.

Ketika ketukan itu terdengar, aku langsung berlari menuju pintu kayu jati ruang tamu yang berada tidak jauh dari kamarku. Mencium ketiak kanan dan kiri, memastikan tak ada bau asem ketiak yang akan mengganggu “kencan pertama kita”. Kuhembuskan hawa mulut untuk memastikan keharumannya . Membersihkan mata perlahan hingga tak ada belek yang tertinggal dan akan mengganggu penglihatanku. Lalu…kupegang handle pintu dan menariknya.

“Assalamulaikum” salammu lembut.
“Waalaikumsalam” Bismillahirrohmaanirrohiim “Ia?” kubukakan pintu. Kau dongakkan wajah yang tadi menunduk seperti sedang membaca tulisan ‘Welcome’ di keset yang tengah kau injak.
“Ada, Vina nya?” aku hanya tersenyum. Menundukkan kepala dan mempersilahkanmu masuk ke ruang tamu. “Anak-anak boleh masuk?” tanyamu lanjut.
“Ya?”
“Sedikitan kok!”
“Boleh” sekitar lima orang temanmu masuk dan menganggukkan kepala tanda menyapaku. Mereka pun sedikit membungkukkan badan dan mulai duduk di kursi besi yang memang sengaja aku dan keluargaku letakkan di teras. Wajah mereka terlihat begitu haus, tapi aku tidak mengambilkan mereka air kala itu, A. Karena kau tidak memintaku, aku kan masih salting – salah tingkah, waktu itu. Jadi, yaa.. kalau mau melakukan ini itu harus diberitahu dulu.
“Tapi mereka di teras aja kok”
“Gak apa-apa masuk juga, A”
Kau berjalan perlahan sambil menganggukkan kepala seolah berkata “sudah boleh masuk?” aku pun mempersilahkanmu dengan menggoyangkan tangan kiri tanda mempersilahkan sang pangeran masuk.
Aku berjalan di belakangmu, mengikuti dirimu yang mengarah ke pojok kiri kursi garuda jati tua berwarna cokelat warisan kakekku. Jantungku terus berdegup, suaranya terdengar kian kencang. Kutatap wajahmu, “Subhaanallah ya Allah, Engkau sungguh Maha Segalanya, menciptakan seorang pria yang begitu mempesona diriku”. Astaghfirullah” kupalingkan wajah cepat.
“Kenapa, Na?” tanyamu santai. Kau kerap memanggilku akrab dengan sebutan ‘Na’
“Gak apa, Aa” kulontarkan senyum lebar.
“Aa boleh sekalian makan gak?” kau keluarkan sebungkus kertas nasi berwarna cokelat dari dalam plastik hitam kecil.
“Boleh, Aa”
“Kamu mau, Na?”
“Apa itu?”
“Nasi uduk”
“Gak Aa, makasih. Udah makan kok tadi” aku bergegas ke arah dapur. Mengambilkanmu satu sendok, garpu, dan piring.
Kau tundukkan kepala, sesekali melihat ke arahku dan tersenyum tanpa ucap. Kau begitu lahap. Aku tersenyum bertanya kecil dalam hati “kenapa harus makan disini ya? Padahal kan tadi bisa makan di luar dulu”
Kau menggeserkan duduk, mendekatiku dan mulai mengangkat sendok makan itu “Boleh Aa suapin?”
“Hah?” tanyaku terkejut. Jantung terus berdegup kencang hingga terdengar telinga. Bibir terasa gemetar saking gugupnya. Aku hanya terdiam, membuka mulut perlahan, sambil mata terus memerhatikan sendok yang kian mendekat dan memasuki mulut. “Terimakasih, A”
“Sama-sama”
***
Sore itu, aku berjalan dari SMP Negeri 4 Rangkasbitung menuju rumah, di Pasir Sukarayat. Jarak yang kutempuh, lumayan jauh sekitar satu sampai satu setengah kilo. Tapi tak sedikitpun aku merasa lelah, karena memang aku sudah terbiasa berjalan kaki dari sekolah ke rumah dan sebaliknya.
Satu lampu merah di sebuah perempatan besar satu-satunya di kota, selalu kulalui. Jalur pasti yang terlewati ketika berangkat dari rumah ke sekolah atau pun sebaliknya. Dan di lampu merah itu juga lah kau biasa duduk, kongkow-kongkow asik sama teman-teman sepulang sekolah, sambil masih mengenakan seragam putih-biru tua.

Aku dan Vani – saudara kembarku, menyebrang jalan. Tengok kanan dan kiri sudah dilakukan serta memastikan bahwa keadaan jalan aman tidak ada satu kendaraan pun yang sekiranya akan menabrak kami. Niat untuk melihatmu yang tengah berselimut kepulan asap rokok tak pernah terlintas. Aku tidak suka pria yang “sok gaul” sepertimu, A. That’s why I had never wanted to see your face. Bagiku, kau itu kakak kelas yang “nakal” meskipun aku belum tahu dimana kenakalanmu itu. Tapi, kau berkumpul bersama anak-anak yang kalau ke sekolah, bajunya di keluarkan. Kau bermain dengan anak-anak yang selalu memegang sepuntung rokok diantara jari telunjuk dan tengahnya. Dan kau selalu bersama mereka yang mengantongi rokok Mild di kantong seragamnya. Yah.. meski aku tidak tahu kau merokok atau tidak, tapi tetap saja begitu melihat dirimu bersama dengan meraka yang seperti itu, ya..aku pung langsung melabelkan dirimu dengan “anak sok gaul, sok asik”. Hufh.. kutarik nafas panjang menyayangkan dirimu di antara mereka.
Proses penyeberangan jalan yang terjadi, selesai. Beristirahat sebentar sambil meneguk air, aku dan Vani bersandar pada tiang lampu merah di sudut jalan berseberangan dengan tempat dimana kau duduk.
Pria berpakaian seragam putih biru, badan cungkring, kulit putih, mata belo, berlari perlahan menyeberangi jalan. Nafasnya tergesa-gesa, menghampiri kami. Meletakkan tangannya di pot tanaman besar yang ada di sebelah tiang lampu lalu lintas. Sambil menahan badannya dan bertumpu pada sandaran tangan.

“Na, ayo.. siapa yang Vina suka?” nafasnya masih terengah-engah. Dia sungguh kelelahan.
“HAH? APA, PRAS?” jelas aku terkejut.
Dia, Prass. Seorang pria dari kelas yang sama dengan kelasmu, yang sudah akrab dengan aku dan Vani sejak kami masuk sekolah dua bulan lalu. Matanya sengaja disipitkan tanda menggoda. ‘Pertanyaan aneh! Kenapa tiba-tiba ia menanyakan hal ini?’
“Tinggal pilih aja!” tambahnya sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah kau dan teman-temanmu yang sedang asik dengan rokok.
Pras bagiku saat ini, adalah sosok pejuang dan dewa fortuna yang telah menyatukan kita. Coba kalau saat itu aku tidak mengenal Prass? atau.. coba jika saat itu ia tidak melontarkan pertanyaan konyol itu, A? Mungkin kita tidak akan pernah bersama. Jadi, ayo kita bilang terimakasih sama-sama ke Prass, A. Dimanapun ia berada saat ini, ia pasti akan tahu bahwa kita sangat berterimakasih pada semua yang telah ia  lakukan untuk kita.
“Makasih Prass..”
“Ayo Vina.. pilih aja!” tambah Prass maksa. ‘Pilih? Maksudnya?’
“Emang barang apa?” jawabku ketus.
“Ya.. ayo ih.. nanti Prass bantuin! Tinggal pilih aja mau yang mana!” dasar Prass, kau itu, mereka malah dijadikan seperti barang yang berjejer di etalase toko dan harus dipilih mana yang terbaik, lalu dibeli. Tapi apa mungkin pemilihan pacar seperti itu? I don’t think so.
Dengan wajah menunduk, kuangkat jari telunjuk ini bermaksud berarah pada Rangga, seorang pria yang duduk tepat di sebelahmu. Dimataku – saat itu, Rangga adalah anak yang baik. Ya.. setidaknya Rangga tidak sedang menghisap rokok. Ditambah lagi, Rangga bukan dari kelas 2G – kelas dimana anak-anak nakal dan tidak rajin berkumpul. Sudah lama aku memerhatikan setiap gerak-geriknya di sekolah. Ia cenderung kalem, ramah, dan setiap kali berjumpa denganku, selalu menganggukkan kepala tanda sapaan, belum lagi, pakaian seragam yang Rangga kenakan selalu rapi. Tapi saat itu, aku belum tahu kalau pria yang tengah kukagumi bernama Rangga. Jadi, aku percaya begitu Prass bilang, pria yang kutunjuk itu bernama YUDA.
 “Itu.. namanya Yuda”
“Oooh.. namanya Yuda toh!” “Orangnya baik gak, Prass?”
“Baik kok anaknya. Tenang aja, Na pasti Prass kenalin sama yang baik-baik! Terus.. kalo Vani maunya sama yang mana?” Pertanyaan yang lagi-lagi Prass ajukan pada Vani yang tepat berada di hadapannya. Vani sedikit tersedak dengan pertanyaan itu. Dia tidak berpikir bahwa Prass akan menanyakan hal yang sama seperti yang ditanyakan padaku.
“Aah.. engga deh Praas!” kata Vani dengan nada manjanya.
“Kenapa? Na aja udah milih, Ni! Cepet gih! Udah sore nih, mau pulangkan kalian?”

Yaa..akhirnya Prass berhasil membuat Vani mengangkat jari telunjuknya dan menunjuk pada seorang laki-laki yang tepat duduk di sebelah kiri Rangga. Pria berkulit sawo matang, rambut cepak, bibir merona merah, dan senyum manis serta tawa yang terdengar keras itu, ternyata berhasil mengalih dunia saudara kembarku yang sulit untuk jatuh cinta.. “oke, bukan jatuh cinta tapi jatuh hati” Dan ternyata, telunjuk Vani mengarah pada seorang laki-laki muda bernama Yuda Pratama. Dirimu, A.

“Oooh.. itu namanya Rangga, Ni”
“Rangga….hm…..” respon Vani.
“Baiklaaah.. kalo gitu, tugas Prass selesai ya Na, Ni. Prass pergi dulu!” ia langsung berlari menyebrang jalan sambil berteriak “Tunggu ya Na, Ni”
Tunggu ya Na, Ni? maksudnya apa

Kami pun melanjutkan perjalanan. Aku yakin A, otak Vani pun memikirkan apa yang dikatan Prass dengan kata “tunggu” nya itu. Karena kami sama-sama tidak mengerti maksud Prass. Belum lagi rasa “merasa sudah bertindak bodoh” yang menggerogoti hati dan otak kami berdua, itu pasti. Soalnya, selama ini Mama selalu bilang, kalau kami enggak boleh ngejar laki-laki duluan.

Sesampainya di rumah, setelah segala penat pergi terterpa angin dari kipas angin dan semua perlengkapan sekolah masuk ke habitatnya masing-masing, aku dan Vani mulai bercakap-cakap tentang dirimu dan Rangga. Mungkin kau belum tahu semua tentang hal ini, karena memang aku tidak sempat menceritakannya. Ahh.. tak pernah terpikirkan olehku untuk menceritakan segala hal yang sekiranya akan membuat dirimu senang melayang atau kegeeran, A. Aku masih saja menjadi penganut GENGSI-ISME taat. Jadi, adalah sebuah dosa besar jika aku terbuka, menceritakan ini itu pada pria.
“Ni, Yuda lucu ya!” sekali lagi, saat  mengatakan hal itu yang terbayangkan di angan-anganku adalah Rangga yang sebenarnya, bukan dirimu yang kukenal kini.
“Ia, Na. Eni juga suka banget sama Rangga” Dan kau pasti sudah bisa tebakkan, A, Siapa yang Vani maksud Rangga itu? Ya.. memang benar, yang Vani maksud dengan Rangga itu, adalah dirimu, the truth Yuda. Bukan Rangga yang sebenarnya.

Memang lucu, akhirnya ternyata kisah anak kembar yang menyukai pria yang salah sambung, terjadi juga. Padahal, tidak pernah ada tuh pemikiran seperti itu, A. Aku dan Vani mungkin terlalu sombong kali ya sampai berani-beraninya bilang “Gak akan ketuker dong pacarnya” setiap kali dikomentari orang “wah.. nanti pacarnya ketuker loh!” J
"Anak kembar yang aneh, masa untuk suka sama cowok saja sampai tertukar. Lucu sekali Pikirku setelah tahu kenyataannya bahwa kaulah yang bernama Yuda, dan Rangga adalah Rangga.

 
Tak lama obrolan diantara kembar berlanjut, ponsel Nokia 2100 warna pink bergetar, tanda ada pesan masuk pun berdering. Kubuka, dan..
Prass: Na, nnti pras knALin sm Yuda ya Di SekLAh BsoQ.
Pertemuan pertama di kantin Ibu Sugeng itu, kali pertamanya aku bertemu kau dan merengek dalam hati “bukan cowok ini Praaaaas!! Tapi yang ituuuuu..” aku menggerutu tak bersuara. Mataku terus tertuju pada Rangga yang menunggu Aa di pintu kantin. Menunggu perkenalan kita selesai. Tapi aku tidak pernah bisa mengatakan yang sebenarnya pada Prass dan dirimu tentang “kesalahan” itu. Karena aku tidak tahu harus mengatakannya seperti apa.

Dan aku pun mencoba untuk menikmati segalanya, membiarkan segalanya mengalir begitu saja.
***
Tiba-tiba, sendok yang sedari tadi berisi nasi uduk dan dilahap terhenti. Kau simpan sendok itu kembali ke piring dan turun dari kursi perlahan-lahan. Kau minum air yang kusediakan. Lalu duduk jongkok dihadapanku. Bibirmu masih komat kamit seperti baca mantra dan langsung menengadahkan wajah ke arahku. Menuju tepat ke mataku. Hingga tak bisa kualihkan pandangan darimu. Tatapan mata itu, masih sangat kuingat hingga kini. Tak ada yang menyamai mata itu, A. Sungguh Allah hanya menganugerahkannya hanya padamu. Mata yang tajam, tegas namun tetap lembut. Memancarkan kebahagiaan. Kau tidak pernah dapat berbohong, karena kau menggunakan mata untuk berbicara. Mata yang membuatku tenggelam dalam suasana. Halis tebal itu melengkapi tekstur wajah nan ber-estetika, A.

Saat itu, kaulah makhluk-Nya yang sempurna. Penggambaran karakter diri nan bijak, terlukis indah dari raut wajah yang penuh kesabaran. Keningmu sedikit berkerut. Perlahan matamu menurun. Kepalamu tertunduk. Terlihat kau sedang berpikir. Sedikit demi sedikit kau angkat dagumu, mulai menengadah lagi. Mata kembali disorotkan pada wajahku. Entah apa yang kau lihat saat itu dariku, A. Yang pasti, aku tahu kau akan mengatakan sesuatu.

"Vina, mau gak jadi pacar Aa?” Kudongkakkan kepala ke belakang, mengernyitkan dahi, memelototkan mata, dan mengangakan mulut.
“Apa?”  Namun dapat kupastikan, saat itu, setelah melakukan atraksi terkejut yang luar biasa, aku tertawa. Tidak percaya. “Pacaran? Dalam islam, itu tidak adakan? Tapi, apa Yuda kah yang Allah turunkan untuk menjadi seseorang bagiku?”
“Ia, mau gak kalau Vina itu jadi pacar Yuda?” Tanyamu sekali lagi meyakinkanku. “Tunggu! Apa aku izin Vani dulu?Kalo pacaran, Mama Bapak pasti marah juga nih!”
Aku tidak menjawabkan, A? Aku hanya tersenyum dan “Permisi sebentar ya Aa. Aku harus ke kamar kecil dulu” Padahal pada saat itu, aku menghampiri Vani yang tengah membereskan barang-barang kami untuk pindah rumah.

“Niiii.. gimana ini?”
“Apa Na?”
“Betulkan.. Yuda nembak Na. Apa Na terima atau gimana?”
“Udah.. terima aja. Kan lumayan” NGEK “Lumayan apa nih? Ganteng? Bukan lumayan atuh Ni, ganteng mah banget!”
“Tapi kan kamu suka dia”
“Aaah .. ela Na.. suka biasa aja kok!”
“Bener ya.. terima aja nih?”
“Ia. Udah .. lumayan kok” Waktu itu, rasanya pacaran masih trend jadi ya, suka gak suka, sayang gak sayang, cinta gak cinta ya terima aja. LUMAYAN.

Aku datang, dan melihatmu sudah duduk kembali di posisi yang sama seperti ketika kau sedang makan nasi uduk. Tapi kali ini, kau tidak sedang makan. Nasi uduknya masih tersimpan rapi di atas meja kaca corak elang itu.

“Gimana, Na?” tanyamu lagi setelah aku duduk tepat di sampingmu.

Aku hanya sedikit menganggukkan kepala. Melupakan spontanitas terkejut yang sempat terlontarkan dariku. Karena bukan tidak mau mengatakan sekedar kata ‘Ya’, tapi aku masih sangat-sangat terkejut kala itu, Aa. Belum lagi aku harus izin sama Vani yang sebenarnya waktu itu, dia yang suka Aa.

Apakah ini nyata atau hanya sebuah guyonan jayus darimu?” atau Apakah di usia yang masih sangat muda ini aku diizinkan berpacaran oleh Mama dan Bapak? I didn’t think so. Tapi Mama Bapak, bisa diaturlah nanti” tambahku cekikikkan dalam hati. Konflik batin berkecamuk. Ketika hati bertanya-tanya, logika menjawab dengan pemikiran rasionalnya. Mungkin bukan rasional, namun dipaksakan menjadi masuk akal. “Ini nyata kok, Vina! Dan ya kalau memang tidak diizinkan pacaran oleh Mama, ya gak apa-apa. Jangan dulu diambil pusinglah. Bukannya emang kamu mau punya pacar?! Tapi bagaimana dengan ajaran Islam? Sudahlah, santai saja.. Toh kamu tidak akan melakukan hal bodoh dengan Yuda kan? Lumayan loh, untuk antar-jemput les” Ya, antar-jemput les adalah satu-satunya alasan aku berani menganggukkan kepala.  Jadi, pacaran ketika SMP itu adalah suatu TREND yang ya.. lumayan untuk ojek nganterin les. BRUK!!.

Anggukan kepalaku itu, kau artikan bahwa aku mengatakan “yes” untuk pertanyaan yang kau ajukan, A. Anggukan kecil perlahan itu kau artikan sebagai jawaban Ya aku menerima dirimu untuk jadi pacarku. Dan sudah, ceremony kecil-kecilan bernama “nembak” telah terjadi.

Kau menyuapi nasi uduk untuk kedua kalinya lagi padaku. Lembut sekali. Tersenyum manis, dan bilang “Terimakasih ya, Sayang” Saat itu, aku sungguh melihat matamu jauh lebih bersinar. Suapan itu sungguh sangat terkenang hingga saat ini.

Suapan pertama dan yang terakhir itu sangat membahagiakan bagiku. Nasi uduk yang sebenarnya biasa saja - malah sedikit pedas itu, terasa begitu nikmat. Hatiku sekejap berbunga-bunga. Aku sungguh bahagia, Aa. Padahal waktu itu, ada perasaan suka pun tidak sama sekali. Aa fahamkan? Kalau yang suka Aa itu Vani bukan aku. Jadi, aku benar-benar bahagia karena dapat pacar, bukan karena berhasil mendapatkan orang yang aku sayang. Namanya juga anak kecilkan, Aa.

Tanpa kita sadar – atau malah mungkin kau sadar, A, teman-temanmu menguping pembicaraan kita. Aku baru tahu, ketika usai adegan suapan itu, aku pergi dengan niat mengambil segelas air putih lagi untukmu dan aku. Mereka langsung memenuhi ruang tamu dan bertanya–tanya “Gimana, Duy?” tanya Diki, salah satu temanmu berbisik.
“Diterima”

Seluruh temanmu bersorak kecil dan ringan. Selain karena sudah malam, juga karena tidak mau ketahuan olehku. Lucunya jika diingat-ingat kembali momen itu. Dan ketika aku datang kembali, semua memandang sigap ke arahku. Seolah akulah putri malam itu. Tatapan mata mereka seolah mengatakan “Cie.. Nyonya Yuda” Dan mungkin dengan beragam ejekan atau godaan lainnya. Hal itu sangat tidak menggangguku, A. Aku malah sangat bahagia, karena semenjak malam itu, akulah pacarmu dan begitu pula sebaliknya. KAU PACAR PERTAMAKU, Aa.

Meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan tidak tahu juga apa sebenarnya yang dimaksud dengan pacar. Yang terpenting adalah malam itu. Suasana malam itu. Sejarah malam itu. Dan segala hal tentang malam itu. Yang hanya beberapa hal kuingat. Sungguh menyedihkan, tapi tatapan itu tidak akan kulupakan. Karena memang tidak terlupakan, A. Pandanganmu, A. Dan segala hal yang terjadi di malam itu, adalah sejarah yang tidak akan pernah lekang di makan waktu. Harus diabadikan, karena kini kenangan itu tidak akan terjadi lagi. Kalaupun terjadi lagi, tidak mungkin denganmu dan rasanya tidak kan sama. Ya..pasti dengan orang yang berbeda dengan rasa yang sudah pasti juga beda.
Hai kursi garuda tua! Hai lampu tua! Hai tembok!
Hai para nyamuk dan binatang lampu lainnya!
Tolong abadikan momen bahagia itu ya!
Aku tidak ingin semuanya hilang!
Kalian saksi bisu malam itu.
Jangan katakan siapapun, jadikan momen besar itu rahasia di antara kita.
Aku, kamu, A Yuda, dan Tuhan.
 
Aku mulai membuka perasaan yang awalnya masih sangat polos menjadi lebih berbeda. Lebih beraneka. Perasaan yang pada awalnya belum pernah menyayangi orang lain selain keluarga dan sahabat itu muncul. Mencintai seseorang. Seorang pria entah dari keluarga mana.

Perasaan cemburu yang sebelumnya tidak pernah terasa pun kini menjadi terasa-rasa. Semuanya berubah, A. Berubah drastis.

Semenjak saat itu, sadarkah A, kau sudah sangat membuat hidupku menjadi lebih berwarna? Memiliki lebih banyak corak untuk dilalui. Membuat kertas menjadi jauh lebih banyak untuk ditulisi. Membuat berjuta kata dapat terangkai penuh makna. Dan membuat aku dapat mengingat semua hal dengan dan tentangmu.

Bagiku, kau adalah teman yang selalu siap menemaniku, menjemputku, dan mengantarkanku. Kau adalah sahabat yang siap mendengarkan semua keluh-kesahku. Kau adalah pacar – meski hanya status saja.

No comments: