Wednesday, March 13, 2013

Satu Tetes


“Pensil, sketch book, rautan, hapusan, penggaris, dan.. hm.. well yeah.. semuanya siap” kumasukkan seluruh tetek bengek penting itu ke dalam tas kesukaan putih merah bergaris biru yang selalu kubawa kemanapun. Anak tangga demi anak tangga kulalui perlahan. Licin. Kaos kaki hitam telah kukenakan, jadi aku harus berhati-hati menuruni setiap anak tangga. Jika tidak, ya.. aku pasti terpeleset dan BRUK! Seluruh penghuni rumah akan kembali melihatku seperti kejadian dua hari silam.

“Bu, aku berangkat” kupegang paksa dan dicium tangan kanan Ibu Kost yang sedang memasak untuk buka puasa. Ibu Kost memang rajin sekali puasa dua hari sekali.

“Kemana, Nak?”

“Biasa, Bu” jawabku berlalu. Aroma masakan Ibu memang khas. Telur dadar kornet. Sederhana, tapi wanginya menusuk hidung. Kian jauh, jelas aroma itu kian menghilang digantikan asap kendaraan bermotor yang lintas-melintang di sepanjang jalan wijaya.

Masker ungu kotak-kotak kukenakan, headset, dan handphone pun telah kutengkelkan di telinga. Kugelengkan kepala, menggerakkan mulut mengikuti setiap lirik teralun melodi yang dinyanyikan para penyanyi bermata cokelat, berkulit super sawo matang, dan berbibir seksi. Rihanna.

Plis.. plis.. plis.. berhenti..”  ringisk dalam hati berharap setiap mobil yang berlari kencang berhenti mendadak untuk memberikan ruang bagiku menyebrang jalan. Langkah terus kupacu. Satu. Dua. Tiga. Empat. Entah sudah berapa banyak langkah kuukir, sampai di sebuah taman berpanggung lingkar di bawah, dengan susunan kursi-kursi penonton. “Hm……” gumamku. Kulihat ke sekeliling mencari tempat teraman dan ter-posisi wenak untuk diduduki. Kudekati kursi beratapkan dedaunan. Dua pasangan saling melingkarkan tangan ke pinggang dan leher mengapit satu kursi merah, “AHA! Itu tempatku..” bisikku. Kucepatkan langkah sambil terus berdoa tak direbutnya tempat itu oleh pasangan lain.

Perlahan, kududukkan diri. “Pensil, sketch book, rautan, hapusan, penggaris, yap! Semua siap!” satu daun tergeletak lemah tak beranting di sebelah kanan kaki kananku terangin-angin. Aku amati. Memiringkan kepala dan “baiklah…” aku merasa ia menantangku untuk digambar. Kutarik garis satu, dua, tiga, dan… entahlah sudah berapa banyak garis kutarik. Arsir. Arsir. Dan arsir. Jadi, satu gambar daun terangin-angin. Aku terdiam, memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan. Diam. “Hm….” Aku masih terus memiringkan kepalaku, terus dan terus. Sketsa daun terangin itu, nampak terangin dan bergerak. Arsiranku, sungguh luar biasa. Berhasil membuat daun itu terlihat nyata. “Hmm..” aku miringkan lagi kepalaku ke kiri dan ke kanan, sambil terus bergumam. Sedikit memonyongkan bibir. “AHA!!” kutarik pelan jarum pentul yang menancap di jilbabku. “EKHEM!” gumamku kuat.

“Yes! Sempurna”  setetes darah mewarnai sketsa daun.

“Merah berhasil menjadikannya sempurna. Baiklah, besok cat minyak dan kanvas akan menjadi barang wajib bagiku”

No comments: