“Pensil, sketch book, rautan,
hapusan, penggaris, dan.. hm.. well yeah..
semuanya siap” kumasukkan seluruh tetek
bengek penting itu ke dalam tas kesukaan putih merah bergaris biru yang
selalu kubawa kemanapun. Anak tangga demi anak tangga kulalui perlahan. Licin. Kaos
kaki hitam telah kukenakan, jadi aku harus berhati-hati menuruni setiap anak
tangga. Jika tidak, ya.. aku pasti
terpeleset dan BRUK! Seluruh penghuni rumah akan kembali melihatku seperti
kejadian dua hari silam.
“Bu, aku berangkat” kupegang paksa dan dicium tangan kanan
Ibu Kost yang sedang memasak untuk buka puasa. Ibu Kost memang rajin sekali
puasa dua hari sekali.
“Kemana, Nak?”
“Biasa, Bu” jawabku berlalu. Aroma masakan Ibu memang khas.
Telur dadar kornet. Sederhana, tapi wanginya menusuk hidung. Kian jauh, jelas
aroma itu kian menghilang digantikan asap kendaraan bermotor yang
lintas-melintang di sepanjang jalan wijaya.
Masker ungu kotak-kotak kukenakan, headset, dan handphone pun
telah kutengkelkan di telinga. Kugelengkan kepala, menggerakkan mulut mengikuti
setiap lirik teralun melodi yang dinyanyikan para penyanyi bermata cokelat,
berkulit super sawo matang, dan berbibir seksi. Rihanna.
“Plis.. plis.. plis..
berhenti..” ringisk dalam hati
berharap setiap mobil yang berlari kencang berhenti mendadak untuk memberikan
ruang bagiku menyebrang jalan. Langkah terus kupacu. Satu. Dua. Tiga. Empat. Entah
sudah berapa banyak langkah kuukir, sampai di sebuah taman berpanggung lingkar
di bawah, dengan susunan kursi-kursi penonton. “Hm……” gumamku. Kulihat ke sekeliling mencari tempat teraman dan
ter-posisi wenak untuk diduduki. Kudekati kursi beratapkan dedaunan. Dua pasangan
saling melingkarkan tangan ke pinggang dan leher mengapit satu kursi merah, “AHA! Itu tempatku..” bisikku. Kucepatkan
langkah sambil terus berdoa tak direbutnya tempat itu oleh pasangan lain.
Perlahan, kududukkan diri. “Pensil, sketch book, rautan, hapusan, penggaris, yap! Semua siap!” satu
daun tergeletak lemah tak beranting di sebelah kanan kaki kananku
terangin-angin. Aku amati. Memiringkan kepala dan “baiklah…” aku merasa ia menantangku untuk digambar. Kutarik garis
satu, dua, tiga, dan… entahlah sudah berapa banyak garis kutarik. Arsir. Arsir.
Dan arsir. Jadi, satu gambar daun terangin-angin. Aku terdiam, memiringkan
kepala ke kiri dan ke kanan. Diam. “Hm….”
Aku masih terus memiringkan kepalaku, terus dan terus. Sketsa daun terangin
itu, nampak terangin dan bergerak. Arsiranku, sungguh luar biasa. Berhasil membuat
daun itu terlihat nyata. “Hmm..” aku
miringkan lagi kepalaku ke kiri dan ke kanan, sambil terus bergumam. Sedikit memonyongkan
bibir. “AHA!!” kutarik pelan jarum pentul yang menancap di jilbabku. “EKHEM!”
gumamku kuat.
“Yes! Sempurna” setetes
darah mewarnai sketsa daun.
“Merah berhasil
menjadikannya sempurna. Baiklah, besok cat minyak dan kanvas akan menjadi
barang wajib bagiku”
No comments:
Post a Comment