“RIBUT!!!!!!!!”
“KAMU!! KAMU GAK
PERNAH MAU TAHU APA-APA.. AKU COBA MENYAMPAIKAN SEMUANYA.. TAPI”
“DIAM!!!! AKU
MALAS!!!”
“OOH.. KAMU UDAH
MALES SAMA AKU?? CEREIN AKU!!!”
“KAMU MAUNYA ITU?”
“IYA!!!!”
Badan Ronald meringis, menggigil. Ia menangis. Tangisan sejuta air mata mengalir dari air mata mungilnya. Bajuku
basah. Pelukannya kian erat, “Bibi.. kenapa Ayah dan Bunda berantem terus?”
kututupkan telinganya, “Masih terdengar, Bi” tangisannya kian mengencang.
Kubalas pelukkannya kian erat. “Masih terdengar kencang, Bi” kulepaskan tutupan
telinganya, menyalakan tape recorder. Lagu
teletubbies pun langsung terdengar.
“Sebentar ya,
Sayang” kupegang dagunya dan mengangkatnya hingga sejajar dengan mataku. Kuputar
tombol volume kian kencang. “Ronald
sini! Mendekat ke Bibi”. Ia berjalan perlahan, mendekatiku. Matanya sembab, air
mata masih mengalir deras. “Masih terdengar, Sayang?”
“Masih, Bi”
kuputarkan kembali tombol volume hingga
ujung dan tak bisa diputar lagi. Kubalikkan badan kembali menatap Ronald.
Mendudukkan tubuhku agar sejajar dengan tubuh mungilnya.
“Udah gak
kedengerankan, Sayang?”
“Makasih ya, Bi”
ia memelukku lagi. Kali ini bukan pelukkan takut, tapi pelukkan penuh
kenyamanan. Ia sungguh lebih tenang dari sebelumnya. Lagu Teletubbies itu
berhasil menghentikan tangisnya. “Bi, orang tua temen Ronald, kayanya gak ada
yang kaya Ayah dan Bunda”
“Roland kata
siapa?”
“Hm.. kemaren pas
bagi rapot kenaikan kelas, mereka datang berdua. Ayah Bunda Lusi, datang. Ayah
Bunda Maemar, datang. Ayah Bunda Risyad, datang. Semuanya datang berdua. Cuma
Ayah dan Bunda Ronald aja yang datang sendiri”
“Ya, gak apa-apa.
Kan Ayah kemaren kerja, jadi Cuma Bunda yang bisa datang. Ronald kan juga punya
Bibi yang bisa anter jemput tiap hari, tapi temen-temen Ronald gak ada yang
punya Bibi kaya Bibi. Jadi, emang apa yang Ronald punya gak akan orang lain
punya. Ronald tahu kenapa?” ia gelengkan kepala sambil memonyongkan sedikit
bibirnya “Karena apa yang Ronald punya, ya cuma Ronald yang punya. Dan yang
mereka punya pun cuma mereka yang punya. Allah udah ngasih semuanya beda-beda,
jadi, Ronald sama temen-temen Ronald bisa saling melengkapi” ia
menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Eh.. Ronald ada PR gak?” aku mengalihkan
pembicaraan. Ia menganggukkan lagi kepalanya. “Apa?” tanyaku.
“Ini..” ia tunjukkan selembar kertas berwarna oranye dan
bertuliskan ‘Impian 20 tahun lagi’
“Ambil pulpennya, Sayang. Yuk kita kerjakan!”
Ia mengambil pulpen biru dongkernya, dan mulai duduk di meja
belajar. Lagu Teletubbies masih terus berputar dengan volume yang masih sama kencang, hingga Ronald tidak mendengar
teriakan kedua orang tuanya. Ia mulai menulis. Mengusap bekas-bekas air mata
yang masih ada di pipinya. Sesekali ia menyeka ingus yang keluar dari
hidungnya. “Bi, aku selesai. Ingin tidur ya” ditinggalkannya kertas dan pulpen
di meja belajar dan langsung menuju tempat tidur.
Kudekati meja belajar dan mempersiapkan segala hal yang
harus Ronald bawa untuk sekolah besok.
“20 tahun lagi, aku
akan menikah dengan seorang wanita yang akan aku cintai, biar gak berantem kaya
Ayah dan Bunda. Ibu Guru bilang, mereka berantem karena sudah tidak ada cinta,
jadi aku ingin 20 tahun lagi menikah dan mencintai istriku setiap hari. Bagiku,
itu impian yang harus kucapai. Indah ya, kalo setiap hari ada cinta di
kehidupan kita”
Aku melihat dalam ke arah Ronald yang telah tertidur pulas “Tuhan,
dia masih delapan tahun”
2 comments:
terharuuuu
anak 8 tahun ngerti menikah? wiw
selamattt
heheh.. ia Kaka, makasih ya.. ^^
Ronald cepat dewasa memang. :P
Post a Comment