Wednesday, March 13, 2013

Ronald


“RIBUT!!!!!!!!”
“KAMU!! KAMU GAK PERNAH MAU TAHU APA-APA.. AKU COBA MENYAMPAIKAN SEMUANYA.. TAPI”
“DIAM!!!! AKU MALAS!!!”
“OOH.. KAMU UDAH MALES SAMA AKU?? CEREIN AKU!!!”
“KAMU MAUNYA ITU?”
“IYA!!!!”

Badan Ronald meringis, menggigil. Ia menangis. Tangisan sejuta air mata mengalir dari air mata mungilnya. Bajuku basah. Pelukannya kian erat, “Bibi.. kenapa Ayah dan Bunda berantem terus?” kututupkan telinganya, “Masih terdengar, Bi” tangisannya kian mengencang. Kubalas pelukkannya kian erat. “Masih terdengar kencang, Bi” kulepaskan tutupan telinganya, menyalakan tape recorder. Lagu teletubbies pun langsung terdengar.

“Sebentar ya, Sayang” kupegang dagunya dan mengangkatnya hingga sejajar dengan mataku. Kuputar tombol volume kian kencang. “Ronald sini! Mendekat ke Bibi”. Ia berjalan perlahan, mendekatiku. Matanya sembab, air mata masih mengalir deras. “Masih terdengar, Sayang?”

“Masih, Bi” kuputarkan kembali tombol volume hingga ujung dan tak bisa diputar lagi. Kubalikkan badan kembali menatap Ronald. Mendudukkan tubuhku agar sejajar dengan tubuh mungilnya.

“Udah gak kedengerankan, Sayang?”

“Makasih ya, Bi” ia memelukku lagi. Kali ini bukan pelukkan takut, tapi pelukkan penuh kenyamanan. Ia sungguh lebih tenang dari sebelumnya. Lagu Teletubbies itu berhasil menghentikan tangisnya. “Bi, orang tua temen Ronald, kayanya gak ada yang kaya Ayah dan Bunda”

“Roland kata siapa?”

“Hm.. kemaren pas bagi rapot kenaikan kelas, mereka datang berdua. Ayah Bunda Lusi, datang. Ayah Bunda Maemar, datang. Ayah Bunda Risyad, datang. Semuanya datang berdua. Cuma Ayah dan Bunda Ronald aja yang datang sendiri”

“Ya, gak apa-apa. Kan Ayah kemaren kerja, jadi Cuma Bunda yang bisa datang. Ronald kan juga punya Bibi yang bisa anter jemput tiap hari, tapi temen-temen Ronald gak ada yang punya Bibi kaya Bibi. Jadi, emang apa yang Ronald punya gak akan orang lain punya. Ronald tahu kenapa?” ia gelengkan kepala sambil memonyongkan sedikit bibirnya “Karena apa yang Ronald punya, ya cuma Ronald yang punya. Dan yang mereka punya pun cuma mereka yang punya. Allah udah ngasih semuanya beda-beda, jadi, Ronald sama temen-temen Ronald bisa saling melengkapi” ia menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Eh.. Ronald ada PR gak?” aku mengalihkan pembicaraan. Ia menganggukkan lagi kepalanya. “Apa?” tanyaku.

“Ini..” ia tunjukkan selembar kertas berwarna oranye dan bertuliskan ‘Impian 20 tahun lagi’

“Ambil pulpennya, Sayang. Yuk kita kerjakan!”

Ia mengambil pulpen biru dongkernya, dan mulai duduk di meja belajar. Lagu Teletubbies masih terus berputar dengan volume yang masih sama kencang, hingga Ronald tidak mendengar teriakan kedua orang tuanya. Ia mulai menulis. Mengusap bekas-bekas air mata yang masih ada di pipinya. Sesekali ia menyeka ingus yang keluar dari hidungnya. “Bi, aku selesai. Ingin tidur ya” ditinggalkannya kertas dan pulpen di meja belajar dan langsung menuju tempat tidur.

Kudekati meja belajar dan mempersiapkan segala hal yang harus Ronald bawa untuk sekolah besok.

“20 tahun lagi, aku akan menikah dengan seorang wanita yang akan aku cintai, biar gak berantem kaya Ayah dan Bunda. Ibu Guru bilang, mereka berantem karena sudah tidak ada cinta, jadi aku ingin 20 tahun lagi menikah dan mencintai istriku setiap hari. Bagiku, itu impian yang harus kucapai. Indah ya, kalo setiap hari ada cinta di kehidupan kita”

Aku melihat dalam ke arah Ronald yang telah tertidur pulas “Tuhan, dia masih delapan tahun”

2 comments:

Jiah Al Jafara said...

terharuuuu
anak 8 tahun ngerti menikah? wiw
selamattt

Vina T. Sudarto said...

heheh.. ia Kaka, makasih ya.. ^^
Ronald cepat dewasa memang. :P