Wednesday, March 20, 2013

Lima Puluh Ribu Terakhir


“Aku udah ambil uang kamu yang di Arya”

“Oia? Berapa sih?” nada bicaranya cuek. Dia memang agak royal masalah uang. Apalagi kalau dipegang Yudis. Udah deh mau berapa aja, pasti gak akan ditagih. Dia cuma bisa ngangguk, dan Yudis pun tersenyum. Lalu pergi. Kalau sedang inget, Yudis pasti bilang “Kamu emang baik deh” sambil nyubit pipi Loli.

“lima puluh ribu”
♪ ∞ ♪

“Aku laper, Lolita. Mama gak masak” kata Yudis manja. Kadang aku heran, kenapa bisa anak kecil kaya gitu ada dalam kehidupan aku dan Lolita. Darimana datangnya saja, aku lupa. Ibarat jelangkung, datang tak diundang, pulang tak diantar.

“Ya, makanlah sana kalo laper, jangan curhat!” jawabku ketus.

“Apa lagi nih. Ya sudah, makan yuk! Kebetulan aku juga belum makan” dan Lolita memang selalu membela Yudis. Seharusnya, Yudis itu tahu diri. Gimana enggak aku sekasar itu? Nih ya, Lolita itu anak kost. Ada di Jakarta saja, karena dia mendapatkan beasiswa di Universitas swasta dan CUMA dapat uang saku satu juta setiap bulannya. Belum lagi dipotong sama uang tinggal dua ratus ribu, uang patungan kostan seratus ribu, kebutuhan handphone nya seratus ribu, dan itu artinya sisa uang Lolita untuk hidup hanya empat ratus ribu rupiah. PAS DI GARIS KEMISKINAN. Sedangkan Yudis, dia itu anak orang kaya. Tinggal di rumah. Dia masih mendapat jajan dari orang tuanya. Oia, tambahan, Lolita SUDAH TIDAK MENERIMA uang lagi dari orang tuanya. Jadi, dengan uang enam ratus ribu, dia harus cukup hidup di Jakarta. Ditambah lagi menghidupi si Yudis itu!

Mau gak mau, aku pun beranjak menemani Lolita dan Yudis makan. Sekalian, nantikan pulangnya pasti Lolita aku antar. Kalau Yudis, aku tatar suruh naik angkot! Lah dia kan bukan tanggungjawabku. Bukan juga tanggungjawab Lolita sebenarnya! Lolita saja yang terlalu baik.

“Makan dimana, Dis?”

“Di Warung Steak Tebet enak ya, Lol” sudah minta, gak tahu diri banget memang anak itu.

“JANGAN! Aku lagi males bawa mobil kesana. Malam Jumat gini, pasti macet. Aku mau makan di uduk samping aja” selaku buru-buru.

“Boleh. Disana aja ya, Dis” kata Lolita lembut sambil tersenyum manis.

Yudis seperti biasa, seperti penjilat. Ngebersihin kursi yang akan diduduki sama Lolita. Ngambilin minum. Bersihin meja bagian Lolita. Ngambilin Lolita tisu. Dan, berbagai “ritual” penjilat pun dilakukannya, demi dibayarin makan.

“Lol, besok aku mau ke kampus. Ke kost kamu dulu ya, soalnya aku mau ambil jaket yang udah kamu bawa ke laundry

“Boleh”

“Abis itu, kayaknya aku gak kuliah dulu deh

“Kenapa, Dis?”

Menunjuk fotokopian tepat samping kampus “Fotokopian itu butuh tenaga kerja, jadi, untuk bayar uang patungan acara barbeque aku bakal kerja disitu. Uang jajan mana cukup”

“Kerja? Engga! Kamu kuliah. Uang barbeque, aku yang bayarin ya” Yudis tersenyum sambil mengelus mesra tangan Lolita. Lolita pun balas tersenyum. Bagi Lolita, asal Yudis bahagia, ia pun bahagia.

Aku mendekatkan kepalaku ke telinga Lolita dan membisikkan pelan. Nada kukuatkan. Aku ingin Lolita tahu, aku benar-benar muak! “Lolita, cukup! Buang parasit itu!”

♪ ∞ ♪

“Sini!” Lolita mengadahkan tangannya ke arah Yudis.

“Apa?” Yudis menganga dan terkejut.

Siniin uang aku!”

Udah aku pake delapan ribu untuk beli rokok”

“Gak apa. Kembaliannya mana?” Yudis merogoh kantongnya, dan diberikan dua lembar uang dua puluh ribu, dan dua lembar seribuan “Kamu hutang sama aku delapan ribu. Ini yang keitung. Yang kemaren, aku ikhlasin aja” Yudis terdiam “Oia, dan kita, putus ya!” Lolita tersenyum, dan menggenggam tanganku erat.

No comments: