“TURUN!!!! TURUN!!” Mama berteriak pada kami, aku dan Vani. Dengan
tubuh gemetar. Gigi tercenat-cenut, kami pun segera turun. Perlahan. Memastikan
bahwa tidak akan terjatuh. Jika jatuh dan seluruh baju kotor kena lumpur di
tanah, Mama pasti marah besar. Mungkin lebih besar dari gunung mahameru. Eh, tapi Gunung Mahameru memangnya
sebesar apa? Aah.. yang penting,
sesuatu yang tidak bisa aku genggam, pasti besar. Tapi, pasti saudara kembarku, Vani bisa genggam, kan dia lebih besar dari aku. Cukup! Bukan saatnya
lagi membicarakan hal ini.
“Sini” Mama melambaikan tangannya tanda aku dan Vani harus
mendekat dan mempersembahkan telinga kananku dan kiri Vani untuk dijewer “Mama
udah bilang, jangan naik pohon itu! Banyak semutnya! Nanti kamu gatal-gatal
gimana?”
“Gak ada kok, Ma” bantah Vani.
“Mama tetep gak suka! Kalau jatuh, gimana?”
“Tapi terbukti gak jatuhkan, Ma” bantahku.
“Eeeh.. kecil-kecil pinter ngelawan!”
Dua hari kemudian.
“TURUN!!!!!!!” Lagi-lagi, aku dan Vani harus turun dengan
tubuh gemetar. Kali ini ditambah dengan mata kiri yang kedutan. Orang tua dulu
bilang. Orang tua siapa ya tapi? Pokoknya orang tua dulu deh, bilang katanya
kalau mata kiri kedutan akan menangis. Dan mungkin memang ia, karena wajah Mama
kali ini lebih seram dari biasanya. Vani memegang tanganku. Erat. Dia menjagaku
agar aku tidak terjatuh. Dia sudah selamat di bumi, sedang aku, masih menggantung
dan masih merasa takut untuk jatuh. Kalau jatuh, kali ini PASTI Mama akan
menyuruh kami mandi di luar. Bagaimana tidak, lihatlah, lumpur lumut hijau
campur kotoran kucing, dan pasti banyak cacing juga ada di bawah sana. BLUEK!
“Sini!!!” Kali ini, Mama bawa sapu lidi. Dan kami pun
mempersembahkan pantat untuk dijepret Mama “Mama sudah bilang, jangan naik
loteng Bu Darmawan! Gak enak sama tetangga!!”
♪ ∞ ♪
“LUTI!!!!!!”
“Aku
baik-baik saja! Kamu naiklah. Aku tinggal disini saja” Luti memegang betis kaki
kanannya. Ia tersungkur dari tebing setinggi satu setengah meter. Aku melihatnya.
Persis di bawahku.
“Aku gak
mungkin ninggalin kamu!”
“Gak
apa. Aku gak kuat kalo jalan. Aku akan tunggu bantuan datang” BENAR! Mana bisa
aku melanjutkan perjalanan. Aku turun perlahan. Tubuhku gemetar. Ya, Mama yang
ada dibawah, siap dengan sapu lidi dan aku akan mempersembahkan pantatku lagi. Kali
ini, aku pasti akan digantung. Tanganku berpegangan pada dahan pohon di kanan
kiri. Aku turun. Perlahan. Memastikan tidak akan menimpa Luti. Memastikan tidak
akan terjatuh dan masuk ke dalam lumpur lumut hijau yang pasti bercampur dengan
kotoran kucing, dan pasti banyak cacingnya.
“Kamu
gak apa, Lut?” aku memegang kakinya. Memberinya minum “Aku akan disini,
menunggu bersamamu sampai bantuan datang” Aku membayangkan ada Mama disini.
No comments:
Post a Comment