Wednesday, March 20, 2013

Berkat Turun


“TURUN!!!! TURUN!!” Mama berteriak pada kami, aku dan Vani. Dengan tubuh gemetar. Gigi tercenat-cenut, kami pun segera turun. Perlahan. Memastikan bahwa tidak akan terjatuh. Jika jatuh dan seluruh baju kotor kena lumpur di tanah, Mama pasti marah besar. Mungkin lebih besar dari gunung mahameru. Eh, tapi Gunung Mahameru memangnya sebesar apa? Aah.. yang penting, sesuatu yang tidak bisa aku genggam, pasti besar. Tapi, pasti saudara kembarku, Vani bisa genggam, kan dia lebih besar dari aku. Cukup! Bukan saatnya lagi membicarakan hal ini.

“Sini” Mama melambaikan tangannya tanda aku dan Vani harus mendekat dan mempersembahkan telinga kananku dan kiri Vani untuk dijewer “Mama udah bilang, jangan naik pohon itu! Banyak semutnya! Nanti kamu gatal-gatal gimana?”

“Gak ada kok, Ma” bantah Vani.

“Mama tetep gak suka! Kalau jatuh, gimana?”

“Tapi terbukti gak jatuhkan, Ma” bantahku.

“Eeeh.. kecil-kecil pinter ngelawan!”

Dua hari kemudian.
“TURUN!!!!!!!” Lagi-lagi, aku dan Vani harus turun dengan tubuh gemetar. Kali ini ditambah dengan mata kiri yang kedutan. Orang tua dulu bilang. Orang tua siapa ya tapi? Pokoknya orang tua dulu deh, bilang katanya kalau mata kiri kedutan akan menangis. Dan mungkin memang ia, karena wajah Mama kali ini lebih seram dari biasanya. Vani memegang tanganku. Erat. Dia menjagaku agar aku tidak terjatuh. Dia sudah selamat di bumi, sedang aku, masih menggantung dan masih merasa takut untuk jatuh. Kalau jatuh, kali ini PASTI Mama akan menyuruh kami mandi di luar. Bagaimana tidak, lihatlah, lumpur lumut hijau campur kotoran kucing, dan pasti banyak cacing juga ada di bawah sana. BLUEK!

“Sini!!!” Kali ini, Mama bawa sapu lidi. Dan kami pun mempersembahkan pantat untuk dijepret Mama “Mama sudah bilang, jangan naik loteng Bu Darmawan! Gak enak sama tetangga!!”


“LUTI!!!!!!”

“Aku baik-baik saja! Kamu naiklah. Aku tinggal disini saja” Luti memegang betis kaki kanannya. Ia tersungkur dari tebing setinggi satu setengah meter. Aku melihatnya. Persis di bawahku.

“Aku gak mungkin ninggalin kamu!”

“Gak apa. Aku gak kuat kalo jalan. Aku akan tunggu bantuan datang” BENAR! Mana bisa aku melanjutkan perjalanan. Aku turun perlahan. Tubuhku gemetar. Ya, Mama yang ada dibawah, siap dengan sapu lidi dan aku akan mempersembahkan pantatku lagi. Kali ini, aku pasti akan digantung. Tanganku berpegangan pada dahan pohon di kanan kiri. Aku turun. Perlahan. Memastikan tidak akan menimpa Luti. Memastikan tidak akan terjatuh dan masuk ke dalam lumpur lumut hijau yang pasti bercampur dengan kotoran kucing, dan pasti banyak cacingnya.

“Kamu gak apa, Lut?” aku memegang kakinya. Memberinya minum “Aku akan disini, menunggu bersamamu sampai bantuan datang” Aku membayangkan ada Mama disini.

No comments: