Jakarta, Yah.. saya bersyukur berada di Ibu Kota ini. Rasanya, semua akses mudah. Dari internet, bertemu orang-orang penting, ikut komunitas-komunitas hebat, berteman dengan banyak kalangan, dan semuanya. Bukan berarti di kota lain tidak bisa, hanya saja, saya sekarang sedang bertempat tinggal di Ibu Kota Indonesia, yang mau tidak mau, sadar tidak sadar, menjadi pusat perhatian orang. Tinggal di Jakarta itu, menyenangkan. Saya bisa makan banyak makanan lezat, dari A sampai Z, dari yang termurah hingga yang paling mahal. Terbukti dengan berat badan yang tiba-tiba naik enam kilogram. SUPER. Tapi itu bukan masalah. Hanya saja, saya tidak mau terlalu gemuk, kan saya ini perempuan mobile. Kemana-mana, naik TransJakarta, kemana-mana naik kopaja, kemana-mana metromini, sesekali mungkin naik taxi, tapi tetap, kopaja, metro mini, dan trans Jakarta adalah santapan super lengkap setiap saat. Kalo gemuk, rasanya akan sulit bergerak saat berhimpit-himpitan dengan orang banyak di dalam bis. Atau ketika duduknya pun akan menulitkan orang lain. Kapasitas kursi yang seharusnya dua orang, hanya ditempati oleh saya. jadi, saya tidak boleh gemuk.
Jakarta, memberikan banyak kenikmatan bagi saya. Apalagi, kuliah pun gratis. Tempat tinggal hanya dua ratus ribu sebulan. Jajan pun ada yang mengirimkan. Minimal, saya bisa makan enak hingga dua puluh ribu rupiah lah setiap malamnya. Itu pun kalau sedang boros, kalo hemat, tujuh ribu saya rasa cukup untuk memenuhi nafsu para cacing-cacing perut.
Tapi di Jakarta itu...
Tapi bukan berarti Jakarta tidak ada keluhannya. Padatnya populasi baik penduduk asli maupun pendatang (seperti saya) yang menetap, membuat Jakarta sungguh kian padat. Sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa dengan datang ke Jakarta, akan mendapat hidup yang lebih baik. Hanya saja, ada yang berhasil, dan tidak. Mereka yang berhasil, karena dibekali mental, dan pendidikan yang cukup atau mungkin berpacaran dengan orang kaya, dan akhirnya tinggal di rumah gedongan. Tapi sebagian lagi, menganggur. Memenuhi setiap lampu merah, menengadahkan tangan pada setiap mobil sedan atau kijang, sambil berkata "Minta..minta" sehingga, mereka pun punya profesi "meminta-minta". Dari profesi itu, memang banyak yang sukses, tapi ya.. HANYA BOSnya. Yang bawahan, tetap saja jadi pengemis jalanan. Atau, mereka masuk ke dalam kopaja, atau kendaraan lainnya (Kecuali trans Jakarta) untuk mengamen, atau meminta-minta lagi. Tidak masalah lah jika memang halal. Hanya saja, sekali lagi, populasi yang padat membuat kemakmuran dan tingkat inequality semakin tinggi.
Sekali dari seluruh pemandangan yang saya lihat selama naik turun kopaja di Jakarta adalah, pagi itu, ketika hendak bepergian ke arah Blok M, seorang Ibu menyusui anaknya sambil meminta-minta. Miris? Ia, jijik karena berhasil melihat (maaf) payudara ibunya? ia juga. Dan risih? ia pastinya. Merasa tidak nyaman, hingga akhirnya saya berpikir "Oh ibu........kenapa gak nyusuin di rumah aja". Pikiran saya melanglang buana, "Apakah itu anak asli ibunya?" karena di zaman yg serba instan ini, anak bisa dipinjam untuk mendapatkan belas kasihan orang lain. Metode Emotional Approach yang diberlakukan sang Ibu, kadang berhasil dengan mendapat banyak sumbangan dari para penumpang. Tapi kalo ga? kasian pula kan tuh anak.
Pemandangan satu usai. Berikutnya, di hari yang lain, pemandangan berubah. Seorang Bapak memainkan suling, meng-teatrikal-kan sedikit naskah tentang "bocah". Pesannya, bahwa menjadi apa itu tidak penting. Yang penting adalah proses kedewasaan dan hati. Saya sungguh terpesona, pemandangan teatrikal itu kali pertamanya saya lihat semenjak satu setengah tahun lebih menikmati pementasan para artis knalpot. Uang 2000-an saya keluarkan, memasukkannya ke dalam corong lipatan dari kertas yg disodorka Sang Pemain Teater itu. "Makasih" katanya masih dengan mata terbelalak, tapi bukan untuk menakuti saya, melainkan ia masih terjerembab masuk dalam peran yg dilakoninya tadi.
Jika jam pulang kerja tiba, rasanya anugerah tak terhingga didapat jika dalam bis berhasil mendapat duduk, sementara yg lain berdiri. Dan bukan musibah juga jika berdiri, berhimpit-himpitan dengan orang yang tak dikenal, karena toh saya menikmatinya. Hanya saja, pelecehan yang kadang sulit terhindarkan.
Malam itu, setelah usai kuliah dari SCBD, saya naik trans Jakarta. Padat, jelas. Transit pertama di dukuh atas, dan pada saat itu, pintu masuk perempuan dan laki-laki belum seketat sekarang. Ketika masuk dan didesak-desak oleh orang-orang yang ingin masuk juga, saya rasa orang di belakang begitu dekat. Menempelkan (maaf) bagian bawah pinggangnya ke (maaf) dubur saya. Sejenak, terlihat bayangan bahwa ia berambut panjang "dia perempuan kok!" yakin saya. Namun saya sudah tidak tahan, merasa risih dengan yang terjadi, dan.. saya memilih turun di halte Kungingan timur. Ternyata "Dia seorang pria gondrong". Saya masih syok dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan taxi. Bibirnya yg tersenyum masih teringat jelas, matanya menyipit begitu tahu bahwa saya terkejut.
Pelecehan itu, tidak akan pernah terlupa. Jika ada, dan diperbolehkan, saya ingin menggunakan gaun yang panjang, ala Madam-madam Eropa, biar gak ada lagi yang menyentuh (maaf) pantat saya. Banyak lagi fenomena dalam bis.
Saat itu ketika pulang kuliah dari Paramadina, saya dan Irviene naik kopaja 612. Seorang ibu tua tengah berdiri di antara kami. Ia mengecutkan wajahnya ketika tanpa sengaja kaki saya yg bersepatu menginjak kakinya yang hanya mengenakan sendal jepit swallow. Seperti biasa, rutinintas menghindari ke-bete-an dalam bis, saya dan irviene bercanda. Tak lama, mata saya begitu ingin melihat ke arah tas orange kotak yg dikenakan irviene, TERNYATA tangan sang ibu sudah masuk ke tas dan.. dengan cepat dikeluarkannya sambil bilang "Bukan saya yg mencuri" dengan cepat ia menghentikan bis, dan turun. Saya masih tercengo cengo dengan pemandangan barusan. Setelah turun, saya melarang irviene untuk mengenakan tas itu lagi. Terlalu riskan.
Banyak Pelajaran yg Saya Ambil
Berlari-lari di halte trans Jakarta yang panjang, berdesak-desakkan dengan seluruh penumpang, merasakan bis yang nyaris menabrak karena supirnya yg ugal-ugalan. Baru duduk dan dioper ke bis lain secara paksa tanpa kompromi, semuanya.. semua fenomena itu telah saya rasakan. Menyakitkan? ia, kadang. Namun belakngan, saya mencoba untuk menikmati segala proses yang terjadi dalam hidup saya, karena bagaimana pun hal-hal itulah yang akan menjadikan diri saya wanita tangguh.
Di Jakarta itu, tidak ada pilihan yg menyenangkan jika kita melakukannya dengan berat. Jika pilih naik Trans Jakarta, maka kita akan merasakan desakan yg luar biasa ketimbang menaiki bis biasa. Belakngan semenjak koridor 9 dan 10 diaktifkan, jadi lebih ramai penumpang trans Jakarta. Ditambah lagi, jalurnya bebas macet. Menjadi alternatif bagi banyak orang untuk menghindari kemacetan yg membuat stress. Hanya saja, desakan dan antrian yg luar biasa di titik-titik tertentu, membuat diri harus bersabar lebih ekstra. Sedangkan jika memilih kopaja, metro mini, mikrolet atau hal lainnya, risiko yg akan terkena adalah tidak adanya asuransi, supir yg ugal-ugalan, dan macet yang pastinya akan membuat udara di dalam bis makin panas. Yah...tidak ada pilihan yg tanpa resiko. But when i want a high return, I've to take a high risk. And I've to choose one of them. Sometimes, I choose the Trans Jakarta one or other. Pinter-pinter "mainin" waktu aja llah ya.. Kallo janjian jam 8 di kungingan, setiap pagi di mampang macetnya sampe perempatan mampang bisa 30 menit, yaa.. berangkat jam setengah tujuh. ^^

No comments:
Post a Comment