Saturday, July 21, 2012

Aku Mencintaimu Karena Allah

Sampai kapan mencari? Jika tidak tahu apa yang dicari, 
Apa yang diperoleh? jika tidak mengerti apa yang kau cari.
Carilah sesuatu yang layak dicari.
Tentang sesungguhnya yang tidak pernah hilang, tapi kau anggap hilang karena keakuanmu sendiri.
Maka hilangkanlah yang bernama aku, jika ingin Dia yang mencarimu!




Penggalan tulisan diatas, kubaca dari sebuah buku berjudul "Aku mencintaimu karena Allah". Begitu membaca judul buku ini, terlebih yang memberikannya adalah seorang pria, jadi kupikir, ia mencintaiku benar-benar karena Allah dan dari buku ini, ia ingin mengajarkan padaku bagaimana carai mencintainya hanya karena Allah juga.

Jelas aku tertarik membacanya. Apalagi begitu membaca sinopsis cerita di balik buku yang mengisahkan kepergian seseorang ke Kairo, Mama langsung bilang "dia akan pergi ke Kairo loh, Na!" "Masa sih?" "Ini ngasih buku yang ke Kairo. Sama kamu sih disuruh jauhin kamu" aku masih bertingkah seolah cuek.

Penggalan kalimat diatas, membuatku termenung seolah bercermin pada diri sendiri tentang sosok Ilham, laki-laki desa yang merindukan kebebasan karena sudah hidup lama dengan sang ayah dan penuh kekangan.  Hanya saja, kami berbeda latar belakang, jika Ilham dibesarkan di keluarga kiyai dan pesantren milik keluarganya, aku dibesarkan di keluarga yang harta Bapak akan habis jika kami (anak-anaknya) tidak menggunakannya dengan bijak. Bapak pun telah mengajarkan banyak hal; solat, ngaji, puasa, bagaimana berzikir, apa saja yang harus dibaca kala selesai solat dan yang terakhir menyekolahkan aku dan saudara-saudaraku di sekolah formal maupun sekolah non-formal (Sekolah Agama). Karena Mama dan Bapak ingin aku dan saudara-saudaraku memiliki ilmu eksak dan agama yang cukup untuk bekal hidup.

Persamaan aku dengan sosok Ilham yang aku bayangkan secara fisik tubuhnya tinggi, kulit sawo matang, rambut belah pinggir, dan selalu mengenakan baju taqwa adalah, bahwa kami sama-sama merindukan kebebasan. Ilham kecil hidup dalam setiap perintah Ayah yang tegas dan cenderung mengekang, dan Ibu yang selalu sabar menghadapi Bapak yang sungguh tegas dalam masalah agama serta penuh kasih dan cinta pada Ilham. Hingga setelah lulus SMA, Ilham memohon izin untuk melanjutkan petualangan hidupnya berkuliah di Jakarta, demi mencari dan mematangkan ilmu islamnya. 

Kekangan Ayah dan curahan kasih Ibu yang memanjakan Ilham dalam keseharian pun berakhir hingga Ilham diizinkan untuk kuliah di UIN Jakarta. Pandangan Ilham terhadap islam berubah, menjadi lebih liberal bahkan mendekati sekuler. Baginya, islam yang diajarkan Bapak selama ini sungguh kuno dan tidak bisa menerima pendapat orang lain. Di Jakarta, Ilham menjadi lebih terbuka, dan banyak hal yang dulunya dilarang kini dijalaninya, seperti: pergi berdua dengan lawan jenis. Dulu Ayah selalu bilang, bahwa Ilham tidak boleh pergi berdua saja dengan perempuan.

Banyak hal tentang islam dicarinya di Jakarta, satu demi satu buku filsafat dan kemodernan islam pun dilahapnya. Berbagai tulisan untuk menentang ajaran-ajaran islam yang diajarkan oleh Bapak pun diterbitkannya melalui jurnal kampus. Ilham menjadi sosok yang berintelektual tinggi, berani berpendapat, menjadi pembicara disana sini, dan pria yang ditentang oleh Nisa, gadis hijabers yang cantik jelita. Ilham tidak sadar, bahwa apa yang dilakukannya ternyata menuju ke-aku-an semata.

Aku rasa, aku pun demikian, mencari ruang pembebasan akan masa remaja yang bukan penuh kekangan sebenarnya, hanya saja, aku membutuhkan ruang luas, jalan panjang, dan waktu yang tak terbatas untuk berlari, menari, dan mengejar asa yang selalu kuimpikan. Dan Jakarta lah menjadi tempat aku melakukan segalanya. Begitu kubaca buku ini, dan membaca penggalan kalimat diatas, aku tertegun, mencoba untuk mencari makna atas apa yang penulis maksudkan dengan menuliskan kalimat itu. Dan alhasil, bahwa sebenarnya, para pencari yang tidak tahu apa yang dicari sepertiku ini, sebenarnya tidak akan menemukan apa-apa. Hanya sebuah ke-aku-an yang cenderung sombong untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan.

Kedatangan Nisa mulai mengusik keseharian Ilham. Nisa membantah berbagai jurnal yang Ilham terbitkan di UKM. Dan kemudian Ilham pun disentil oleh Allah untuk kembali ke jalan Nya dengan memanggil kedua orang tua Ilham. Sepeninggal kedua orang tuanya, Ilham pun kembali ke jalan Nya. Surat yang ditinggalkan kedua orang tua jelas menggambarkan alasan sang Ayah dan Ibu mendidik Ilham sedemikian ketatnya. Air mata penyesalan Ilham yang mengalir, tak akan mengembalikan segala hal yang telah terjadi. Setiap tetes air mata dijadikan motivasi pembangkit semangat Ilham untuk segera menyelesaikan studi S1 dan melanjutkan S2 di Kairo.

Alhamdulillah, aku tak perlu mengalami apa yang Ilham alami untuk kembali ke Jalan Nya. Berbagai hal telah aku "cicipi"; melepas jilbab setelah lulus SMA, mencoba A, datang ke tempat B, beli C, dan melakukan segala hal hingga tak kurasakan jalanku terbatas. Kini aku telah sadar, dan harus kembali ke Jalan Nya, jalan dimana Mama dan Bapak telah membimbingku selama dua puluh tahun.

Nisa yang selama ini menjadi sosok penentang pemikiran sekuler Ilham, ternyata menjadi seorang wanita yang diperistri Ilham di Kairo. Keduanya menjalin rumah tangga yang sederhana, Nisa tidak banyak menuntut pada Ilham yang pada saat itu juga masih berstatus mahasiswa S2. Dengan pendapatan seadanya, Ilham mencukupi kebutuhan keluarga. Abdullah adalah anak pertama, hasil buah cinta Ilham dan Nisa. Dokter memvonis bahwa Abdullah mengalami cacat permanen, tidak mendengar dan tidak berbicara, akibatnya terjatuhnya Nisa ketika mengandung Abdullah. Dan Nisa pun divonis tidak akan dapat memiliki anak lagi, karena kanker rahim yang dideritanya, meki sudah diangkat. Cobaan berat itu, membuat Nisa terpukul, tapi tak satu detikpun ia luput dari ingatan akan kekuasaan Allah. Bahwa Allah yang akan memberikan cobaan, dan Allah pula lah yang akan mengakhiri segalanya.

Didekatilah Ilham yang masih terbaring di tempat tidur, "Abi, nikahilah Rima" perempuan berjilbab modis yang sempat dicintai Ilham ketika masih kuliah S1 dulu. "Gak bisa, Umi". Dengan berbagai penjelasan, permohonan, dan keikhlasan, Nisa memohon pada Ilham untuk menikahi Rima karena anaknya, hasil pernikahan dengan dokter yang berujung perceraian itu, membutuhkan sosok ayah untuk dijadikan panutan. 

Nisa sadar bahwa bahkan cinta suaminya pun bukan hanya miliknya, melainkan milik Allah. 
Jadi, insyaAllah ia ikhlas untuk berbagi cinta suaminya yang bukan miliknya. 

Seluruh tubuhku bergetar, bulu kudukku merinding, dan hatiku sesak. Kelak ketika aku memiliki suami, apakah bisa aku seperti Nisa? Aku tidak yakin, tapi apa yang dirasakan Nisa memang benar. Bahwa sebenarnya, cinta suamiku pun bukan milikku.

Ilham pun menikah. Setiap pulang ke Indonesia, Ilham selalu menemui Rima. Dan Nisa yang selalu dibakar api cemburu kian belajar untuk ikhlas, karena bagaimana pun, ia mencintai sang suami karena Allah. Abdullah kian besar, kian bisa mengeja sedikit demi sedikit. Begitu Ilham dan Nisa mendapati vonis dokter tentang Abdullah, keduanya tidak pernah berhenti berusaha untuk membawa Abdullah ke terapist, dan terus berdoa untuk kesembuhan Abdullah. Di usia 6 tahun, Abdullah justru sudah hafal alquran, dan Nisa pun tengah mengandung anak kedua, buah cintanya dengan Ilham. Sedangkan Rima, membesarkan anak dengan Ilham, suami bijak yang dapat berperilaku adil untuk membagi dan meyakinkan keduanya, bahwa cintanya milik Allah dan jangan mencintainya melebihi cinta keduanya pada Allah.

Aku belajar banyak, untuk menghilangkan kesombonganku, yang bahkan sebenarnya aku bukan siapa-siapa. Aku belajar, untuk mencintai siapapun karena Allah. Dan aku belajar, bahwa tidak ada yang tidak mungkin ketika manusia berusaha dan terus berdoa, karena hasil akhir dari usaha dan segala upaya bukanlah kuasa manusia, melainkan kuasa Allah. Sulit memang, tapi semuanya butuh proses meski tidak mudah, tapi jika dijalankan dengan ikhlas, sabar dan usaha keras, tak ada yang tak mungkin.

Kini, insyaAllah aku mendapatkan sejatinya kebebasanku. Karena sesungguhnya, ternyata:
hamba yang bebas adalah yang merasa tidak memiliki dan dimiliki,  
karena semuanya milik Allah swt


3 comments:

Irvan Setya A. said...

"Ga akan berkumpul dua cinta dalam satu hati."

Rasul aja cinta sejatinya cuma buat Khadijah :)

Adil dalam kasus si Ilham di buku itu pasti maksudnya adil soal harta, perhatian, dll. Kalo soal cinta mah ga yakin juga. Bisa2nya penulis novelnya aja menggambarkan adil, hehehe :D

Vina T. Sudarto said...

Ia Ka.. setuju.. ^^ Tp yg aku tangkap, hanya ada satu cinta kok di hati .. cinta pada Allah.. :) hehe..

*masih punya utang ceritain cerita tntg cinta karena Allah ya Kak*

Unknown said...

kak kpan bikin lanjutannya.?