Monday, January 12, 2015

Empat Tekanan dari Kartu Nama

Kamu pernah gak makan di salah satu restaurant Pizza Hut di Jakarta, disediakan gelas kosong di mejanya bertuliskan "Masukkan kartu nama untuk dapat pizza gratis setiap minggunya"? Kurang lebih seperti itu lah tulisannya. Dan sejak saat itu, saya pikir, PERLU untuk punya kartu nama. Untuk makan pizza? Bukan, saya gak suka pizza. Cuma, ketika saya punya kartu nama, saya bisa masukkan kartu nama saya di gelas itu. Dan ketika dewi keberuntungan mendekati saya, kemudian saya mendapatkan pizza gratis, saya akan ajak teman saya untuk makan pizza itu dengan catatan dia membelikan saya Cheese Fetucinni-nya. ^3^

Itu asal muasal saya pikir penting untuk punya kartu nama.

Di hari berikutnya, ketika kumpul organisasi di luar kampus (saya terhitung mahasiswi yang cukup aktif di luar kampus), mereka (panitia) menyediakan mangkuk besar kosong di tengah meja. "Yang bawa kartu nama bisa langsung masukin kartu namanya ke mangkok itu (sambil menunjuk mangkuk), nanti kami bakal ngehubungin kalian ke nomor di kartu itu". JLEB! Kalo gak punya gak akan dihubungi gitu? Kenyataannya memang pahit, saya tidak dihubungi hingga sekarang. Mau menuliskan nama dan nomor telepon di secarik kertas aja, saya tidak punya cukup kepercayaan diri. Jadi, ya beginilah sekarang.

Itu tekanan kedua yang saya alami, dan kemudian menjadi berpikir lagi untuk punya kartu nama.

Dua hari setelah kejadian itu, saya berencana untuk mencetak kartu nama. Saya pun pergi ke salah satu percetakkan seperti snappy, tapi bukan snappy. Entah apa namanya, saya lupa. Saya baca tulisan "Kartu nama bulak-balik Rp. 80.000" waktu itu, uang 80.000 cukup besar buat saya yang jajannya saja seminggu cuma 200.000 rupiah (anyway, ini setting di tahun 2009-an loh). Akhirnya, saya coba nego separuh harga, dan yang saya dapatkan kartu nama yang dicetak hanya pada satu sisinya saja. Sisi baliknya lagi, hanya putih. Sudah bayar separuh harga, hasil cetak kurang bagus juga, informasi seadanya (nama, no.hp, email) apalagi? Tidak tahu. Saya tidak tahu konten macam apa yang harus disimpan di kartu nama.

Itu tekanan ketiga yang saya terima, ternyata kartu nama masih jadi barang yang mahal.

Tak lama, saya bawa 100 lembar kartu nama itu kemana pun saya pergi. Ketika ada kumpul komunitas lagi, kartu nama ditanyakan dan dengan bangga saya mengeluarkannya. JENGJENG!! "Itu kartu nama kamu, Vin?" tanya salah seorang teman yang juga sedang memegang kartu namanya. Dengan rasa bangga yang luar biasa, saya jawab "Iya dong" sambil kemudian melihat kartu nama juga di tangannya. Kartu namanya berwarna hijau muda dan tua, ada gambar karikatur dirinya, mengenakan kostum sesuai dengan profesinya saat itu "aktivis", dan Informasinya ada : Nama, no.hp, pin bbm (waktu itu belum begitu tenar whatsapp), blog/ web, alamat, company. Sedangkan kartu nama saya, design biru langit yang suka jadi desktop wallpaper komputer anak-anak SMA di laboratorium komputer di sekolahnya, dan hanya berisi tiga informasi standar.

Itu tekanan keempat yang saya rasakan, ternyata tidak bisa asal dalam mencetak kartu nama.

Akhirnya, saya belajar design karu nama. Membaca tiap detail cara mendesign kartu nama sendiri, sesuai dengan profesi saya, dan mencari tahu konten apa saja yang seharusnya ada di kartu nama, karena ternyata kartu nama itu penting, karena:
  • Alat komunikasi sederhana yang harus informatif,
  • Alat komunikasi yang bisa selalu ada di dompet orang yang nerima, jadi kalau dia handphone-nya lagi lowbat, atau lagi gak save nomer kita di hp, dia lupa, begitu dia buka dompetnya, eeeh... ada deh no.hp kita, 
  • dapat menggambarkan personaliti si-empunya, jadi ya.. harus kita banget,
  • Bisa bikin empu-nya jadi pede, karena design yang keci, jadi jangan main-main dengan design-nya!

Terkahir, 
kartu nama itu penting, supaya kita bisa makan pizza gratis (kalo promonya tahun ini masih ada ^3^)

No comments: